WEKACE, Sambil menunggu pesawat di Bandara Soeta ke Pontianak, mari kita bahas pertemuan ASEAN di Kuala Lumpur. Paling tidak kalian paham soal geopolitik dunia, taklah cerita termal-termul mulu. Siapkan kopi Senang asal Sorong tanpa gula, wak!
Kuala Lumpur mendadak berubah jadi panggung drama geopolitik paling absurd di Asia Tenggara. Di satu meja makan hotel bintang lima, para pemimpin dunia duduk manis, tersenyum di depan kamera, tapi dalam hati masing-masing sudah menyiapkan strategi ala Game of Thrones versi ASEAN edition.
ASEAN baru saja menandatangani “Visi ASEAN 2045: Our Shared Future” kalimat yang tampak manis seperti brosur KPR bunga nol persen. Isinya? Komitmen tentang inklusivitas, keberlanjutan, dan persahabatan regional. Tapi di balik semua kata “damai” itu, semua tahu, setiap negara sedang menghitung, siapa yang bisa jadi kawan, dan siapa yang harus dijadikan sekutu sementara.
Lihatlah Donald Trump. Dengan gaya khasnya, goyang dombret di hadapan penari Melayu, penuh keyakinan dan rambut yang masih setia menentang gravitasi, dia berkata, “America is 100% with you.” Kalimat itu terdengar seperti rayuan seorang mantan yang ingin balikan setelah sekian lama main di dua hati. Ia bahkan mengaku berhasil menengahi perdamaian Thailand–Kamboja dengan cepat. Saking cepatnya, beberapa diplomat ASEAN sampai belum sempat mengeluarkan laptop. “We finished it so fast,” katanya bangga, seolah dunia ini lomba lari jarak pendek, bukan maraton diplomasi.
Lalu datang Rusia, dengan Sergey Lavrov yang tampil tenang tapi dingin seperti vodka di musim salju. Ia menyebut ASEAN sebagai “teman yang benar-benar dapat diandalkan.” Bahasa diplomatik yang artinya, tolong jangan ikut-ikutan blok Amerika, ya? Rusia bahkan menyuarakan penyesalan karena Korea Utara tak hadir, dan secara halus berkata, mereka siap “mewakili” Pyongyang. Dunia pun bertepuk tangan, meski sebagian hanya karena takut.
Tak mau kalah, Jepang hadir dengan aura wangi bunga sakura dan ketertiban yang luar biasa. PM Sanae Takaichi berbicara tentang “Free and Open Indo-Pacific” atau dalam bahasa sederhana, mari kita jaga kawasan ini dari perang dagang, tapi tolong jangan ganggu supply chain chip semikonduktor kami. Jepang, dengan sopan santunnya yang legendaris, mengingatkan, masa depan ekonomi Asia akan lahir dari kolaborasi, bukan konfrontasi. Tapi kita semua tahu, di balik senyum itu tersimpan kalkulator ekonomi yang sedang menghitung untung-rugi sampai empat desimal.
Tentu saja, masuklah sang naga besar dari utara, China. PM Li Qiang menegaskan, China ingin “memperluas keterbukaan dan menciptakan pasar besar bersama.” Kalimat yang indah, namun jika diterjemahkan ke bahasa realpolitik berarti, ayo kita dagang, tapi kalian jangan terlalu akrab sama Amerika. China bicara tentang energi hijau, kecerdasan buatan, dan ekonomi digital, semuanya terdengar modern, futuristik, dan... sedikit menakutkan. Sebab semua tahu, di balik setiap kabel internet dan chip AI, ada niat untuk mengikat, bukan sekadar membantu.
ASEAN pun berada di tengah-tengah. Antara janji “100% bersama kalian” dari Amerika, vodka diplomasi Rusia, disiplin ekonomi Jepang, dan pesona infrastruktur China. Itulah mengapa pertemuan di Kuala Lumpur ini ibarat reuni keluarga besar di mana setiap tamu membawa kado, tapi juga kamera tersembunyi.
Timor-Leste pun nyaris jadi anak baru di keluarga ini, siap disambut sebagai anggota ke-11. Semua senang, semua tepuk tangan, meski dalam hati beberapa anggota lama berpikir, “Satu kursi lagi berarti satu suara lagi yang harus dikompromikan.”
Dari luar, pertemuan ini tampak damai dan elegan. Jas licin, dasi mengilap, konferensi pers penuh senyum. Namun di balik layar, masing-masing negara sedang memegang kalkulator politik, menimbang, siapa yang bisa dijadikan sahabat hari ini, dan musuh besok pagi.
Tapi begitulah seni geopolitik. Semua pihak ingin jadi sahabat, tapi tak ada yang benar-benar percaya. Semua bicara tentang perdamaian, sambil memoles senjata retorika mereka. Di tengah semua absurditas itu, ASEAN tetap berusaha tampak tenang, berkata dengan lembut, “Kami hanya ingin menjadi pusat.”
Padahal kita semua tahu, di dunia yang penuh kepentingan ini, jadi pusat bukan berarti paling kuat, kadang hanya berarti paling sering diserempet.
Namun, justru di situlah keindahan ASEAN. Kumpulan negara yang tak punya kekuatan militer besar, tapi punya daya tahan politik yang luar biasa. Mereka tersenyum pada semua pihak, sambil diam-diam belajar cara bertahan hidup di tengah para raksasa.
Kuala Lumpur, dengan segala gemerlap diplomatiknya, berhasil membuktikan satu hal, di dunia modern ini, geopolitik bukan lagi soal siapa yang paling berkuasa, tapi siapa yang paling piawai berakting sambil meneguk kopi tanpa menumpahkan rahasia negara.
Penulis :
Ketua Satupena Kalbar