WEKACE, Masih cerita ASEAN. Sambil menunggu pesawat menuju Pontianak di Bandara Soeta, kita bahas tetangga yang dulu saudara kita, Timor Leste. Soeharto yang mencaplok Timor Timur, dan Soeharto salah satu penggagas ASEAN. Sekarang, negara jajahan Portugis itu resmi masuk organisasi hasil gagasan mantan presiden RI kedua yang sekarang diusulkan jadi pahlawan nasional. Simak lagi narasinya sambil seruput kopi Senang khas Sorong, wak!
Akhirnya, setelah 14 tahun mengetuk pintu, menunggu di luar sambil ngopi pahit dan pura-pura sabar, Timor-Leste resmi jadi anggota penuh ASEAN pada Oktober 2025. Ya, negara mungil berpopulasi 1,3 juta jiwa itu kini resmi duduk di meja bundar para “abang-abang Asia Tenggara” yang selama ini tampak eksklusif seperti klub anak konglomerat. Dari status observer yang bikin canggung, kayak tamu undangan yang cuma boleh lihat-lihat dan tak boleh ikut makan. Timor-Leste akhirnya diizinkan mencicipi nasi goreng diplomasi yang dimasak bareng sepuluh negara lainnya.
Masuk ASEAN bukan perkara mudah. Negara berbahasa Ronaldo itu mengajukan diri sejak 2011. Bayangkan, pace! Anak muda yang melamar kerja di perusahaan ASEAN sampai ubanan baru diterima. Tahun 2022, barulah ASEAN bilang, “Oke, secara prinsip kamu boleh masuk, tapi belajar dulu ya.” Maka jadilah mereka observer, gelar paling ambigu di dunia politik. Artinya diterima tapi belum diakui sepenuhnya, kayak hubungan tanpa status. Namun pada KTT ke-47 ASEAN di Kuala Lumpur, 26 Oktober 2025, sejarah berubah. Dunia bersorak, bendera Timor-Leste berkibar di antara sepuluh lainnya.
Keuntungan pun berderet seperti daftar harapan calon pengantin baru. Pasar 600 juta orang terbuka lebar, tarif dagang bisa turun, investasi mungkin datang berbondong-bondong (asalkan birokrasi tak membuat investor pingsan). ASEAN menjanjikan bantuan teknis, peningkatan kapasitas, dan pelatihan supaya Timor-Leste tak salah langkah. Bahkan ada peluang untuk modernisasi ekonomi, supaya negeri itu tak terus bergantung pada minyak dan gas. Karena, dunia makin alergi pada minyak, kecuali yang untuk goreng ayam.
Namun, setiap mimpi punya catatan kaki. Negara hasil perjuangan gerilya Xanana Gusmao dkk itu kini harus memenuhi tiga pilar sakti ASEAN, yakni politik-keamanan, ekonomi, dan sosial-budaya. Artinya, mereka harus siap ikut ratusan rapat, bikin kebijakan sesuai standar, dan buka kedutaan di tiap negara anggota. Ibarat ikut lomba maraton padahal baru belajar jalan cepat. Beberapa negara sempat cemberut, terutama Myanmar yang masih sibuk dengan dramanya sendiri, tapi mayoritas sepakat, “Sudahlah, biar anak baru ini ikut, kasihan nunggu terus.”
Tantangan lain. Kesenjangan ekonomi. Bandingkan PDB per kapita Singapura yang seperti langit dengan Timor-Leste yang masih di trotoar. Tapi justru di situlah pesonanya. ASEAN bisa membuktikan diri sebagai rumah yang inklusif, bukan klub elit. “Kami menerima yang kecil, yang rapuh, yang sedang belajar,” begitu kira-kira pesan moralnya, walau kadang dibumbui agenda geopolitik, supaya Timor-Leste tidak terlalu dekat dengan Barat.
Kini negara beribukota Dili ini berdiri tegak. Negara muda yang dulu terpinggir akhirnya duduk di kursi resmi pertemuan. Mereka membawa suara moral, tentang demokrasi, hak asasi, dan kemanusiaan, hal yang sering disembunyikan di balik senyum diplomatik. Dari pinggiran menjadi pusat perhatian, dari ruang tunggu menjadi ruang rapat.
Ini bukan sekadar kisah keanggotaan, tapi semacam dongeng modern tentang kesabaran, politik, dan kopi panas yang tak pernah habis. ASEAN akhirnya lengkap, sebelas negara, satu drama baru. Selamat datang, Timor-Leste! Kini kamu bukan lagi penonton, kamu pemain utama di panggung Asia Tenggara. Tinggal satu pesan sederhana dari sejarah, jangan cuma hadir, tapi buatlah semua orang menoleh.
Pergi ke Dili menjemput tamu,
Langit senja berwarna merah,
Timor Leste kini berseru,
Muda merdeka, semangat megah.
Nelayan pulang membawa jala,
Ombak menari di tepi pantai,
Timor Leste muda berjaya,
Meski kecil, jiwanya pantang tergadai.
Foto Ai hanya ilustrasi
Penulis :
Ketua Satupena Kalbar