'); Nasihat Istri yang Tak Didengar
WEKACE UPDATE
Loading...

Nasihat Istri yang Tak Didengar

WEKACE, Kisah ini based on true story. Kalian masih ingat hakim Djumanto yang disogok 40 miliar. Sekarang ia sedang menjalani persidangan. Terungkap, ia mengabaikan nasihat istrinya. Simakk cerpennya sambil seruput kopi tanpa gula, wak!

Ada jenis suara yang hanya akan kita rindukan ketika semuanya sudah terlambat: suara seorang istri yang cerewet.
Cerewet, tapi penuh cinta.
Cerewet, tapi menyelamatkan.
Cerewet, tapi tidak pernah salah.


Djuyamto tahu itu sekarang, setelah segalanya hancur. Setelah toga kebanggaannya diganti rompi oranye, dan ruang sidang yang dulu jadi singgasananya berubah jadi kuburan reputasi. Tapi sebelum semua itu, ia punya seseorang di rumah, seorang perempuan yang tidak tahu hukum, tapi sangat paham hidup.

“Pak, jangan sentuh uang itu. Uang itu bukan rezeki, itu jebakan,” kata istrinya suatu malam, sambil melipat baju kerja Djuyamto.
Ia hanya menghela napas. “Bu, kau tidak tahu dunia ini. Ini bukan suap. Ini bentuk penghargaan.”
Istrinya berhenti melipat. Tatapannya dingin tapi dalam. “Kalau penghargaan itu datang sebelum pekerjaan selesai, itu bukan penghargaan, Pak. Itu pelicin dosa.”

Djuyamto tersenyum kecil, mencoba menenangkan suasana. “Bu, semua orang melakukannya. Tak ada yang dirugikan.” 
“Kalau semua orang melakukannya, lalu siapa yang tersisa untuk memperbaiki dunia, Pak?”
Djuyamto terdiam, tapi hanya sebentar. Lelaki yang merasa berkuasa jarang bisa kalah dalam perdebatan, bahkan dengan kebenaran.

Hari demi hari, nasihat istrinya terdengar seperti dengung nyamuk di telinga, mengganggu tapi tak dianggap. Kadang ia mematikan percakapan dengan alasan rapat penting, kadang berpura-pura tidur. Seperti kebanyakan suami yang merasa dirinya bijak, Djuyamto memilih diam, bukan karena benar, tapi karena tak mau mendengar.

Namun nasihat yang diabaikan punya cara sendiri untuk membalas. Uang yang dulu terasa seperti berkah, kini jadi racun yang menggerogoti jiwanya perlahan. Saat jaksa menyebut angka 40 miliar, dunia Djuyamto runtuh. Ia tak melihat uang, ia melihat dosa yang menjelma menjadi angka.

Di persidangan, suaranya gemetar. “Saya menghancurkan karier saya sendiri,” katanya sambil menahan tangis.
Tidak ada tepuk tangan, tidak ada pengampunan. Hanya sunyi, seperti rumahnya dulu setiap kali ia menolak mendengarkan istrinya. Yang lebih menyakitkan, suara perempuan itu masih ada, bukan di hadapannya, tapi di kepalanya.

“Pak, uang bisa membeli waktu, tapi tidak bisa membeli kembali masa lalu.”
“Pak, kalau Tuhan belum menegur, jangan kira Dia lupa.”
“Pak, kalau Bapak terlalu sibuk dengan dunia, nanti dunia yang akan sibuk mengubur Bapak.”

Setiap malam di sel tahanan, nasihat itu datang satu per satu seperti bayangan. Kadang lembut, kadang keras, kadang terdengar seperti doa yang gagal dikabulkan. Di antara kesunyian yang panjang, Djuyamto sadar, istri bukan hanya pasangan hidup, tapi penjaga agar suami tidak tersesat oleh logika yang ia banggakan sendiri.

Ia menyesal. Bukan karena kehilangan jabatan, tapi karena kehilangan suara yang selalu ia abaikan. Dulu, ia menutup telinga karena bosan mendengar kebenaran. Kini, ia menutup wajah karena malu pada kebodohan sendiri.

Barangkali, semua suami seharusnya paham, istri yang cerewet bukan tanda tak menghormati, tapi tanda masih peduli. Ketika ia berhenti menasihati, itu artinya ia sudah berhenti berharap. Lelaki yang kehilangan harapan istrinya, sesungguhnya sudah kehilangan separuh jiwanya.

Malam itu, di dalam gelap penjara, Djuyamto berbisik pelan ke udara kosong, “Bu, kalau waktu bisa diulang, aku janji akan dengar semua omelanmu, setiap hurufnya.”

Tapi waktu tak pernah mau mengulang. Ia hanya meninggalkan gema, suara istri yang tak lagi pulang, dan suami yang akhirnya belajar mendengar, ketika sudah tak ada yang bicara.

Editor :

Redaksi

Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak