'); Sidang Mediasi, Jokowi Tak Hadir Lagi
WEKACE UPDATE
Loading...

Sidang Mediasi, Jokowi Tak Hadir Lagi

WEKACE, Yang usah bosan cerite ijazah Jokowi, skip aja. Saya buat karena ada update terbaru. Saat sidang mediasi, kemarin, Pakde kembali absen. Simak narasinya sambil seruput kopi tanpa gula, wak!

Selasa, 21 Oktober 2025. Pengadilan Negeri Surakarta berubah jadi panggung hiburan nasional. Tiket masuknya gratis, kopi disediakan oleh rasa penasaran publik, dan aktor utamanya, mantan Presiden Joko Widodo, tidak hadir. Bukan karena sakit, bukan karena lupa jadwal, tapi mungkin karena sistem GPS keadilan kita belum bisa mendeteksi lokasi ijazahnya.

Dua alumni UGM, Top Taufan Hakim dan Bangun Sutoto, datang gagah ke pengadilan. Mereka bukan sekadar penggugat, tapi sudah seperti Avengers of Akademia, membela martabat kampus dari ancaman “ijazah shapeshifter” yang katanya berasal dari dimensi misterius bernama KPU Solo. Mereka menggugat lewat Citizen Lawsuit (CLS) karena ingin tahu, “Apakah ijazah Jokowi asli, atau cuma proyek copy-paste dengan kualitas PDF rendah?”


Tergugatnya empat:

1. Joko Widodo (mantan presiden, kolektor janji-janji lama)
2. Rektor UGM Prof. Ova Emilia (penjaga kunci portal ijazah)
3. Wakil Rektor Wening Udasmoro (penjaga backup database)
4. Kepolisian RI (pengawal kebenaran yang kadang salah server)

Mediatornya sudah siap, ruang sidang disemprot disinfektan logika, dan publik menunggu klimaksnya, sang mantan presiden muncul dengan toga, menggenggam map merah marun bertuliskan “UGM, 1985.” Tapi ternyata... nihil. Yang datang cuma kabar, “Pak Jokowi tidak hadir, bahkan virtual pun ditolak.”

Taufiq, kuasa hukum penggugat, langsung garuk kepala sambil menatap kamera wartawan, "Harusnya prinsipal hadir. Kami sudah datang berdua, Top dan Bangun. Tapi Pak Jokowi tidak hadir.”

Publik pun menahan ngakak. “Lho, bukannya dulu beliau bilang siap tunjukkan ijazah di pengadilan?” Ya, benar. Tapi mungkin sekarang ijazahnya lagi healing, atau sedang ikut short course kejujuran internasional.

Kuasa hukum Jokowi, YB Irpan, mencoba menenangkan badai komentar dengan logika yang lebih halus dari sabun colek, "Pak Jokowi bukan lagi pejabat publik, jadi tak wajib hadir. Beliau warga biasa.”

Warga biasa? Wah, kalau begitu warga biasa paling susah ditemui di Indonesia ya cuma dua, hantu di malam Jumat dan mantan presiden di ruang sidang. "Bang, jangan nyebut malam Jumat, dah ramai minum STMJ tu." Ups..

Sidang ini sejatinya mediasi kedua. Mediator sudah menawarkan video call, tapi ditolak. Mungkin jaringan hukum kita memang tak cukup kuat untuk menembus tembok privasi mantan kepala negara. Sementara Top dan Bangun hadir seperti dua mahasiswa yang masih percaya skripsi bisa mengubah dunia.

Lalu bagaimana hukumnya kalau tergugat terus kabur dari spotlight? Menurut aturan, mediasi bisa diulang sekali lagi. Kalau tetap tak hadir, sidang lanjut ke pokok perkara. Bisa jadi hakim memutus secara verstek, putusan tanpa kehadiran tergugat. Tapi karena ini CLS (gugatan warga negara), hakim bakal berhati-hati. Ya, siapa juga mau ambil risiko dijadikan meme nasional.

Publik di luar pengadilan sudah ramai, ada yang jual kaos bertuliskan “Show Me the Diploma”, ada juga yang bawa spanduk “Mediasi Abadi: The Neverending Story.” Tagar #IjazahQuest trending di X, bersaing dengan #DramaSoloSeason2.

Di tengah kekacauan lucu ini, filsafat hukum pun tercengang. Betapa indahnya negeri yang memperdebatkan ijazah selama sepuluh tahun tanpa pernah melihat kertasnya. Negara hukum berubah jadi negara “hokum” penuh tawa, tapi tetap legal di atas panggung absurditas.

Mungkin, di akhir cerita nanti, hakim akan mengetuk palu sambil berkata lirih, "Baiklah, mediasi gagal. Tapi setidaknya rakyat terhibur.”

Karena begitulah Indonesia versi 2025, sebuah republik yang tidak pernah kekurangan kasus, hanya kekurangan kehadiran. Sidangnya hukum, tapi rasanya stand up comedy. Kita para pengopi tanpa gula? Penonton setia, anpa perlu bayar Netflix.

Foto Ai, hanya ilustrasi

Penulis :

Redaksi

Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak