'); Ungkap Skenario Loloskan Gibran,Rismon tak Setuju Prabowo Minta Gibran,Tapi Memang Dipaksakan
WEKACE UPDATE
Loading...

Ungkap Skenario Loloskan Gibran,Rismon tak Setuju Prabowo Minta Gibran,Tapi Memang Dipaksakan

WEKACE, Rismon Hasiholan Sianipar fasih sekali menjelaskan bahwa sebenarnya bukan Prabowo yang berkali-kali meminta Gibran Rakabuming Raka jadi pendamping dirinya sebagai Wapres. Melainkan, sudah disiapkan skenario besar jauh hari, agar Gibran yang tak cukup umur dan tak punya ijazah SMA, bisa lolos menjadi Calon Wakil PPresiden

Publik hanya tahu perdebatan seputar perubahan syarat usia pencapresan di MK saja. Ternyata, ada juga skenario di Dirjen Dikdasmen, dulu di bawah Kemendikbud Ristek dan KPU. Dirjen Dikdasmen mengeluarkan surat penyetaraan ijazah SMA Gibran dan KPU lewat PKPU No 19 tahun 2023 pasal 18 ayat 3. Sempurna sekali.

PKPU No 19 tahun 2023 pasal 18 ayat 3 itu berbunyi: “Bukti kelulusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf m dikecualikan bagi bakal calon Presiden atau calon Wakil Presiden yang tidak memiliki bukti kelulusan sekolah menengah atas dari sekolah asing di luar negeri dan telah memiliki bukti kelulusan perguruan tinggi.”

Sementara pada ayat (1) huruf m itu berbunyi, calon melampirkan: “Fotokopi ijazah, surat tanda tamat belajar, atau surat keterangan lain yang dilegalisasi oleh satuan pendidikan menengah.” Peraturan apa pula yang spesifik seperti itu? Jadi surat dari Dirjen Dikdasmen sudah ditangan, PKPU memberi jalan, dan MK sudah pula ketok palu. Semua diurus dalam satu tarikan napas.

Bagi orang yang beberapa bulan belakangan ini fokus pada isu dugaan ijazah palsu Jokowi dan Gibran, Rismon Sianipar atau katakanlah Roy Suryo Cs, tentu melihat apa yang terjadi di MK, KPU, dan Dirjen Dikdasmen saat itu, satu rangkaian yang tak terpisahkan.

Makanya dia menyebut tiga skenario besar, bahkan "Parcok" dikatakan sebagai pelaksananya. Tangan-tangan kekuasaan pada masanya secara kasat mata terlibat. Gambar besar ini pasti jelas sekali di mata Roy Suryo Cs, tapi tak mudah dibuktikan di mata orang awam.

Tercium sudah, tapi belum terlihat karena lembaga-lembaga resmi masih belum membuka. Mulai ragu sebetulnya, tapi bagaimana pula cara menyikapinya?

Agaknya Rismon ingin mengatakan bahwa Prabowo hanya mengikuti saja permainan atau skenario besar yang sudah disiapkan untuk meloloskan pencalonan Gibran yang terkendala secara usia dan terkendala pula secara ijazah SMA.

Bahkan, bukan mustahil Prabowo sudah mengetahui permainan itu. Makanya dia mengatakan seperti sering dikutip oleh para relawan Jokowi bahwa Prabowo tak akan menang, kalau tak didukung oleh Jokowi.

Dan dikatakan pula bahwa sampai lima kali Prabowo meminta Gibran menjadi pendampingnya. Jadi bukan keinginan Gibran atau Jokowi. Tapi melihat situasi saat seperti itu, keliru Prabowo tak meminta Gibran, karena semua sudah dipersiapkan serapi itu.

Prabowo karena orang dalam, jabatannya Menhan pula waktu itu, pasti tahu persis persiapan Jokowi menghadapi Pilpres 2024 lalu. Semua lini sudah dikuasai. Percuma maju kalau tak didukung Jokowi. Apalagi Prabowo sudah dua kali pula berkontestasi melawan Jokowi. Ia tahu persis permainan. Bahkan sudah hafal.

Tapi khusus soal ijazah Jokowi, apalagi ijazah Gibran, menurut saya, ia tak tahu apa-apa. Ini dibuktikan dengan respon awalnya saat Roy Suryo Cs mempersoalkan ijazah palsu ini. Ketidaktahuan Prabowo seperti "dimanfaatkan" Jokowi dengan cara melaporkan Roy Suryo Cs ke Polda Metro Jaya.

Kalaupun Prabowo meminta Gibran menjadi Wakilnya, pasti juga Prabowo tak tahu ada masalah pada ijazah Gibran seperti yang dipersoalkan Roy Suryo Cs. Termasuk, ijazah Jokowi. Setidaknya, tak ada dalam pikirannya.

Sebab, semua lolos sebagai Wali Kota, bahkan Jokowi lolos sebagai Gubernur dan Presiden. Siapa pula yang menyangka ijazah Gibran dan Jokowi palsu? Kecuali, Bambang Tri dan Gus Nur, itupun khusus Jokowi bukan Gibran, dan dia langsung dibungkam dan dikirim ke dalam penjara.

Karena Roy Suryo Cs tak kunjung bisa dibungkam, maka dugaan ijazah palsu itu makin terang dan menguat. 

Ada istilah pembiaran dalam protes 31 organisasi relawan Jokowi yang mendesak Mabes Polri agar secepat mungkin mentersangkakan dan menangkap Roy Suryo Cs.

Istilah pembiaran itu menurut saya bukan untuk Mabes Polri, melainkan untuk Presiden Prabowo. Presiden-lah yang dianggap membiarkan, sehingga Roy Suryo Cs bebas bergerak meyakinkan publik dan itu berhasil.

Secara aturan, ijazah Jokowi sudah asli. Lembaga yang mengeluarkan mengakui dan Bareskrim sudah pula menyimpulkan itu identik.

Tapi Roy Suryo Cs, bisa menyakinkan pula bahwa objektif ijazah itu sendiri katanya palsu. Roy Suryo Cs memiliki ilmu untuk meyakinkan itu yang tak dimiliki Bambang Tri dan Gus Nur, sebelumnya.

Baik UGM maupun Bareskrim, termasuk Jokowi dan Gibran sendiri, yang pastinya mengklaim bahwa tak ada masalah dengan ijazahnya, justru masalahnya tak mau buka-bukaan sejak awal. Entah kenapa?

Kalau ijazah itu memang asli dan tak ada persoalan dengan ijazah itu, maka mustahil Roy Suryo Cs bisa seenaknya mengubahnya dengan acara apa pun itu, lalu mengatakan bahwa ijazah itu palsu.

Sampai saat ini, belum ada terobosan baru untuk menyelesaikan masalah ini. Sementara itu 31 organisasi relawan Jokowi ingin masalah ini cepat diselesaikan seperti cara lama. Tangkap dan penjarakan Roy Suryo Cs. Tapi hal itu agaknya tak dikehendaki Presiden Prabowo.

Presiden Prabowo mengatakan bahwa tak ada orang yang tak tersentuh oleh hukum. Kendati hal itu disampaikan dalam konteks kasus korupsi, khususnya korupsi besar oleh orang-orang besar, tapi agaknya hal itu juga menyangkut seluruh aspek, termasuk dalam kasus dugaan ijazah palsu Jokowi dan Gibran ini.

Kalau kasus-kasus korupsi saja begitu, apalagi kasus ijazah yang sederhana ini. Kendati awalnya ada aroma intervensi dan lembaga-lembaga terkait sama sekali tertutup, tapi saat ini sudah mulai terbuka, khususnya Kemdikdasmen dan KPU, kendati belum sepenuhnya.

Mestinya Presiden Prabowo juga tak ingin kasus ijazah ini berlarut-larut tak berkejelasan seperti saat ini.

Penulis :
Erizal

Redaksi

Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak