WEKACE - Sambil menyeruput kopi pahit di teras rumah, mari kita nikmati sebuah cerita yang lebih pahit: kisah tentang air yang tidak pernah mengalir, tapi tagihan terus berdatangan. Sebuah drama absurd yang sudah berlangsung hampir tiga dekade di Kabupaten Subang.
Bayangkan ini: Anda adalah pelanggan setia sebuah PDAM. Setiap bulan rajin membayar Rp600-800 juta. Wow, pelanggan VIP sekali! Tapi tunggu dulu—Anda tidak pernah menerima setetes pun air dari PDAM tersebut. Tidak ada pipa yang terhubung ke rumah Anda. Bahkan meteran air yang tadinya dipasang? Sudah dipindahkan, diganti, dan sekarang entah bacanya untuk apa.
Inilah realitas PT Tirta Investama (Aqua Danone) sebagai "pelanggan industri" PDAM Tirta Sanita Subang. Seperti yang diungkap Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi dalam sesi inspeksi mendadaknya, ini adalah hubungan bisnis paling unik abad ini: pelanggan yang tidak pakai air tetap bayar tagihan.
"Terus PDAM jual apa?" tanya sang gubernur dengan polos. Pertanyaan sederhana yang membuat ruangan hening sejenak.
Untuk memahami absurditas ini, kita perlu mundur ke tahun 1997—era ketika Nokia 3310 adalah gadget tercanggih dan email masih barang mewah. Konon, saat itulah Memorandum of Understanding (MoU) ditandatangani antara PDAM dengan perusahaan air mineral.
Tapi ada satu masalah kecil: dokumen historis itu sudah tidak ada. Atau mungkin tidak pernah ada? Atau mungkin dimakan rayap? Yang jelas, "pelaku sejarah sudah tidak ada," demikian pengakuan jujur dari pihak Aqua.
Jadi kita punya transaksi puluhan miliar rupiah yang berjalan hampir 30 tahun tanpa dokumentasi yang jelas. Seperti membeli rumah tanpa sertifikat, tapi terus bayar KPR sampai anak cucu. Masuk akal, bukan?
Gubernur Dedi Mulyadi, dengan gaya khas kampungnya, memberikan analogi brilian: "Ini seperti orang Tiongkok mengejar ikan sampai ke Natuna, lalu bilang 'jangan ditangkap, saya kejar dari sana'."
Atau versi lain yang lebih dekat: Anda menggali sumur di halaman rumah. Tetangga protes karena menganggap air sumur Anda "mungkin" berasal dari sumber yang sama dengan punyanya. Lalu tetangga meminta Anda bayar kompensasi setiap bulan. Dan anehnya—Anda setuju!
Direktur PDAM mencoba menjelaskan dengan teori geologi: "Mungkin dalam akuifer yang sama, sehingga diasumsikan atau ditakutkan yang mereka ambil berpengaruh pada sumber air PDAM."
Mungkin. Diasumsikan. Ditakutkan.
Tiga kata yang menjadi fondasi transaksi ratusan juta rupiah per bulan. Siapa bilang bisnis harus pasti dan terukur?
Mari kita hitung-hitungan sambil ngopi:
- Pendapatan PDAM per bulan: Rp6 miliar
- Kontribusi Aqua: Rp600-800 juta (10-13%)
- Jumlah pelanggan domestik: 10.800 rumah tangga
- Air yang dikirim ke Aqua: 0 (nol) liter
- Pipa yang menghubungkan PDAM ke Aqua: 0 (nol) buah
- Meteran yang dibaca: Entah untuk apa
Dengan kata lain, tanpa melakukan apa-apa—tidak ada biaya pipa, tidak ada biaya pemeliharaan, tidak ada biaya distribusi—PDAM mendapat passive income fantastis setiap bulan.
"PDAM harus sudah untung. Nggak ngapa-ngapain dapat Rp600 juta. Cukup satu orang karyawan," celetuk Gubernur dengan nada kagum bercampur satir.
Bahkan ia menambahkan, "Gaji direktur, gaji satu orang karyawan Rp50 juta aja cukup. Untung, Pak!"
Tapi tunggu, ada plot twist yang membuat satir ini berubah menjadi tragedi.
Sementara Aqua rajin membayar ratusan juta rupiah per bulan untuk air yang tidak mereka terima dari PDAM, warga di Kecamatan Cisalak dan Kasomalang—tepat di sekitar lokasi sumber mata air—belum terlayani oleh jaringan PDAM.
Mari kita ulangi: Aqua bayar Rp600 juta/bulan tanpa dapat air. Warga di sekitar sumber air tidak dapat air karena tidak ada jaringan pipa.
"Kenapa uang Rp600 juta itu tidak difokuskan untuk membangun jaringan melayani warga?" tanya Gubernur dengan nada yang mulai serius.
Pertanyaan yang—sepertinya—belum pernah terlintas dalam rapat-rapat strategis PDAM selama 28 tahun terakhir.
Dari Rp600 juta bulanan yang masuk ke rekening PDAM:
- 5% (sekitar Rp20-30 juta) dibagikan ke dua desa
- Sisanya? "Dipakai untuk operasional keseluruhan"
Kalau diakumulasikan sejak 1997, kita bicara ratusan miliar rupiah yang masuk ke kas PDAM dari "pelanggan" yang tidak pakai air.
"Nanti kalau diaudit, duitnya ke mana?" tanya Gubernur dengan retoris.
Pertanyaan yang membuat semua orang di ruangan mendadak sibuk melihat sepatu masing-masing.
Belum lagi soal pajak air yang dibayar Aqua ke Pemda Subang: Rp800-900 juta per bulan. Tapi sejak awal 2025 menurun drastis. Karena apa? "Longsor, daya beli menurun, kompetisi," kata pihak Aqua diplomatik.
"Jangan sampai ini gara-gara saya sidak!" celetuk Gubernur setengah bercanda, setengah curiga.
TEORI PREMAN KORPORAT
Di tengah diskusi yang makin panas, Gubernur melontarkan kalimat telak:
"Secara hukum ini bahaya. Bisa dikategorikan kayak preman gitu loh."
Preman? Keras sekali bahasanya, Pak Gubernur!
Tapi pikirkan: Anda punya tanah, punya izin menggali sumur (SIPA) dari kementerian, lalu ada pihak lain yang bilang "Bayar ke saya kalau mau ngambil air, karena dulu saya lebih dulu di sini." Padahal airnya tidak dari pihak tersebut, pipanya tidak terhubung, dan dasar hukumnya... "historis" yang tidak terdokumentasi.
Apa bedanya dengan seseorang yang minta "uang keamanan" di perempatan jalan?
EPILOG: MENUNGGU JAWABAN ITB DAN IPB
Gubernur Dedi Mulyadi, dengan kearifannya, menyatakan belum akan menarik kesimpulan.
"Saya punya kebiasaan: saya tanya ke profesional. Nanti saya suruh ITB sama IPB yang nyusulin, bukan saya. Saya tidak pernah ambil keputusan dasarnya politik, selalu profesional."
Keputusan yang bijak. Biarkan ahli geologi, ahli hidrologi, dan ahli hukum yang menilai:
- Apakah benar sumur Aqua mempengaruhi cadangan air PDAM?
- Apakah pembayaran Rp600 juta/bulan memiliki dasar hukum yang kuat?
- Kemana perginya ratusan miliar rupiah akumulasi 28 tahun?
- Mengapa warga di sekitar sumber air masih belum terlayani?
Kopi pagi kita sudah dingin. Tapi cerita ini masih panas.
Ini bukan sekadar soal PDAM dan Aqua. Ini tentang bagaimana ruang abu-abu hukum bisa dieksploitasi puluhan tahun tanpa ada yang bertanya. Ini tentang pelayanan publik yang abai sementara sibuk menghitung untung dari "pelanggan" yang tidak pakai air. Ini tentang rakyat yang kehausan sementara air dijadikan komoditas tanpa kejelasan hukum.
Aqua punya sumber air sendiri, izin sendiri, sumur vertikal sendiri. Tapi masih harus bayar ke PDAM. Kenapa? "Historis." "Mungkin." "Diasumsikan."
PDAM punya 10.800 pelanggan domestik. Tapi warga di sekitar sumber mata air belum terlayani. Kenapa? "Belum sepenuhnya." "Diakui." "Operasional."
Dan kita? Kita cuma bisa ngopi sambil geleng-geleng kepala.
Selamat pagi. Selamat menikmati cerita air yang tidak mengalir.
Tajuk ini ditulis dengan harapan suatu hari nanti, air akan mengalir tidak hanya ke pelanggan yang bayar tanpa pakai, tapi juga ke rakyat yang memang butuh air untuk hidup.
#KopiPagi #AirTakMengalir #PDAMSubang #AquaDanone #TransparansiPublik
CATATAN REDAKSI: Semua fakta dalam tajuk ini berdasarkan transkrip inspeksi mendadak Gubernur Jawa Barat di PDAM Tirta Sanita Subang. Kami menunggu hasil kajian ITB dan IPB untuk melengkapi cerita ini dengan data ilmiah yang komprehensif.
Editor : Zumardi

0Komentar