WEKACE, — Pagi ini, mari kita sambut dengan secangkir kopi pahit dan sepiring ironi: Indonesia, negara dengan 17.000 pulau dan ribuan jenis masakan tradisional, kini resmi menjadi murid bimbel untuk urusan... memberi makan orang.
Ya, Anda tidak salah baca. Badan Gizi Nasional (BGN)—lembaga yang kedengarannya sangat mentereng itu—telah memutuskan untuk "berguru" ke India dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG). Bukan ke Prancis yang masakan Michelinnya tersohor. Bukan ke Jepang yang sistem logistiknya setajam katana. Tapi ke India.
Kenapa India?
Jawaban resminya: karena mereka jagoan mengelola program makan gratis untuk jutaan siswa setiap hari.
Jawaban tidak resminya: mungkin karena kita akhirnya sadar bahwa membuat program makan gratis ternyata lebih rumit daripada membuat UU yang nggak ada yang baca.
India: Dari Bollywood ke... School Food?
Kepala BGN, Dadan Hindayana—nama yang terdengar seperti kombinasi antara pemain sinetron dan tokoh pewayangan—membenarkan bahwa timnya sudah terbang ke India. Bukan untuk nonton Taj Mahal atau beli sari, tapi untuk "melihat role model."
"Kita kan sebelum melaksanakan program Makan Bergizi kita berkunjung ke India melihat role model di India," ujar Dadan dengan diplomatis, seolah-olah ini adalah hal yang sangat wajar—negara dengan rendang, soto, dan gado-gado harus belajar memberi makan dari negara dengan kari dan naan.
Tapi tunggu dulu. Sebelum Anda meledak seperti kompor minyak tanah subsidi, mari kita fair: India MEMANG jagoan dalam hal ini. Mereka punya "Mid-Day Meal Scheme" yang sudah berjalan sejak tahun 1995 dan melayani lebih dari 120 juta anak sekolah setiap hari.
Bandingkan dengan Indonesia yang... uh... masih sibuk debat apakah nasi kucing termasuk makanan bergizi atau bukan.
Bukan Soal Resep Kari, Bung!
Dadan menegaskan bahwa ini bukan soal belajar bikin kari ayam atau samosa goreng. Ini soal yang lebih serius: logistik dan manajemen dapur umum level "dewa".
Bayangkan: bagaimana caranya memasak dan mendistribusikan jutaan porsi makanan setiap hari ke seluruh pelosok negara yang wilayahnya lebih luas dari imajinasi kita? Bagaimana memastikan nasi yang dimasak di Jakarta hari ini sampai ke Papua besok dalam kondisi layak dimakan, bukan jadi oncom?
Untuk menjawab pertanyaan eksistensial tersebut, India akan memberikan Bimbingan Teknis (Bimtek) langsung kepada Indonesia.
Ya, Bimtek. Kata ajaib yang selama ini identik dengan jalan-jalan dinas ke Bali atau Lombok dengan kedok "peningkatan kapasitas ASN" kini naik level: Bimtek internasional dengan guru privat India.
"Saya kira nanti bimbingan teknis dari India akan membantu untuk meningkatkan kualitas pelayanan MBG di Indonesia," kata Dadan dengan penuh harap, seolah-olah India punya tongkat sakti Harry Potter yang bisa bikin program makan gratis langsung jalan tanpa drama.
Tiga Pilar Ajaib: Dari Pengawasan hingga... Pengawasan Lagi
Dadan merinci bahwa kerja sama dengan India akan fokus pada tiga pilar utama:
1. Pengawasan (Supervision)
Ah, kata favorit birokrasi Indonesia: pengawasan.
Pilar pertama ini krusial karena—mari kita jujur—tanpa pengawasan ketat, program ini berpotensi berakhir seperti kebanyakan program pemerintah lainnya: anggarannya ada, pelaksanaannya ngaco, dan yang paling paham cuma tikus kantor yang ngunyah dokumen tender.
Pengawasan di sini bukan cuma soal memastikan makanan sampai ke siswa, tapi juga memastikan makanan itu tidak "hilang" di tengah jalan. Karena kita tahu, di republik ini, bahkan bantuan sosial pun bisa menguap lebih cepat daripada bensin Pertalite.
2. Pengembangan Institusi
Ini bahasa halusnya: "bikin sistem yang nggak bocor."
India akan mengajari Indonesia cara membangun alur kerja dan birokrasi yang efisien dan—ini bagian tersulit—anti-korupsi.
Mari kita pause sejenak dan tertawa getir.
Anti-korupsi? Di Indonesia? Negara yang KPK-nya sibuk dijinakkan dan di mana korupsi sudah seperti cabang olahraga nasional yang turun-temurun?
Tapi oke, kita tetap optimis. Mungkin India punya formula rahasia yang belum pernah dicoba: mungkin mereka pakai mantra dari film Bollywood atau yoga anti-korupsi. Siapa tahu berhasil.
3. Peningkatan Kualitas Layanan
Pilar ketiga ini tujuannya mulia: memastikan makanan yang diberikan bukan sekedar "asal kenyang", tapi benar-benar memenuhi standar gizi.
Karena apa gunanya program Makan Bergizi Gratis kalau menunya cuma nasi putih plus kecap setiap hari? Itu bukan makan bergizi, itu namanya diet mahasiswa kos-kosan.
Dadan menutup dengan diplomatis: "Lebih banyak mungkin nanti ke pengawasan, pengembangan institusi, peningkatan kualitas layanan, dll."
"Dll."
Dua huruf ajaib yang bisa berarti apa saja: dari pelatihan chef hingga mungkin kursus singkat Bahasa Hindi buat jaga-jaga kalau nanti ada delegasi lanjutan.
Plot Twist: Apakah Ini Solusi atau Sekedar Drama Baru?
Mari kita adil: belajar dari yang sudah sukses itu bukan hal memalukan. India memang layak dijadikan role model dalam hal ini. Mereka punya track record puluhan tahun. Mereka punya sistem yang teruji. Mereka punya pengalaman menangani skala yang gila-gilaan.
Tapi—dan ini "tapi" besar seperti anggaran DPR—apakah Indonesia benar-benar siap menjalankannya?
Karena masalahnya bukan cuma soal tahu caranya. Masalahnya adalah eksekusi.
Indonesia sudah punya banyak program bagus di atas kertas. Dari BPJS hingga subsidi pupuk, semuanya terdengar keren. Tapi eksekusinya? Ah, itu cerita lain. Seperti nonton film dengan trailer keren tapi endingnya mengecewakan.
Belum lagi soal korupsi—monster legendaris yang tidak pernah mati di negeri ini. Program sebesar MBG dengan anggaran triliunan rupiah adalah seperti pesta prasmanan bagi para koruptor.
Bayangkan: tender pengadaan bahan makanan, pengadaan peralatan dapur, distribusi logistik, pengawasan lapangan—setiap lini adalah peluang emas untuk "bermain".
Dan kita belum bicara soal distribusi geografis. India memang luas, tapi sebagian besar wilayahnya daratan. Coba bandingkan dengan Indonesia: 17.000 pulau yang dipisahkan laut, gunung, dan—di beberapa tempat—sinyal internet yang lebih lemah daripada argumen netizen.
Bagaimana cara mengirim makanan bergizi ke sekolah di pedalaman Papua atau pulau terluar di Maluku? Pakai drone? Atau kita suruh siswa puasa aja sambil nunggu kapal laut datang dua minggu sekali?
Skenario Terburuk (atau Realistis?)
Mari kita bayangkan skenario terburuk dari program ini—yang sayangnya, mengingat track record pemerintah, bukan tidak mungkin terjadi:
Tahun 2025: Program MBG resmi diluncurkan dengan gembar-gembor. Ada spanduk di mana-mana. Menteri potong pita. Siswa tersenyum di depan kamera sambil pegang piring nasi.
Tahun 2026: Mulai ada keluhan. Makanan terlambat datang. Kualitasnya mengkhawatirkan. Ada yang dapat nasi basi. Ada yang dapat sayur layu. Di beberapa daerah, program tidak jalan sama sekali karena "kendala teknis" (baca: anggaran menguap).
Tahun 2027: KPK mulai menyelidiki dugaan korupsi di program MBG. Ditemukan mark-up harga bahan makanan hingga 300%. Beberapa kepala daerah mulai dipanggil. Media ramai. Publik geram.
Tahun 2028: Program MBG direformasi. Ganti nama. Ganti format. Ganti menteri. Tapi esensinya tetap sama: wacana bagus, eksekusi zonk.
Atau mungkin kita terlalu sinis?
Harapan di Balik Secangkir Kopi Pahit
Tapi di balik semua satir dan sinisme ini, mari kita punya harapan—walau tipis seperti anggaran kesehatan dibanding anggaran DPR.
Mungkin—hanya mungkin—kali ini berbeda.
Mungkin dengan belajar langsung dari India, Indonesia benar-benar akan punya sistem yang jalan. Mungkin pengawasan akan ketat. Mungkin institusinya solid. Mungkin kualitas layanannya benar-benar bagus.
Mungkin, 10 tahun dari sekarang, kita bisa dengan bangga berkata: "Program MBG Indonesia sukses besar. Anak-anak sekolah makan bergizi setiap hari. Stunting turun drastis. Generasi emas terwujud."
Dan mungkin—ini yang paling penting—tidak ada satu rupiah pun yang dikorupsi.
Tapi untuk sampai ke sana, butuh lebih dari sekadar Bimtek dari India.
Butuh political will yang kuat.
Butuh sistem pengawasan yang benar-benar berfungsi, bukan sekadar formalitas.
Butuh hukuman tegas bagi siapa pun yang berani korupsi, tanpa pandang bulu.
Butuh transparansi penuh, dari tender hingga distribusi.
Dan yang paling penting: butuh mindset berubah—bahwa melayani rakyat itu bukan kesempatan cari untung, tapi kewajiban suci.
Penutup: Cheers untuk Guru Kari Kita
Jadi, sambil kita menunggu hasil dari "pelajaran kari" ini, mari kita angkat cangkir kopi pagi kita—yang mungkin lebih pahit dari realitas, tapi tetap harus kita teguk—dan berkata:
"Selamat belajar, Indonesia. Semoga kali ini, PR-nya benar-benar dikerjakan sendiri, bukan nyontek pas ujian."
Dan kepada India, guru kita yang baru: terima kasih sudah mau berbagi ilmu. Semoga kami murid yang baik.
Tapi kalau gagal, jangan salahkan kami.
Salahkan sistemnya.
KOPI PAGI — Menyajikan kebenaran dengan secangkir satir. Pahit, tapi perlu.
☕️🌅
Disclaimer: Tajuk ini ditulis dengan nada satir dan kritis, namun tetap berharap yang terbaik untuk program MBG. Karena di balik setiap sinisme, ada harapan. Dan di balik setiap kopi pahit, ada keinginan untuk Indonesia yang lebih baik.

0Komentar