WEKACE, Terbatasnya ruang fiskal sebagai warisan pemerintahan sebelumnya. Dimana, pemerintahan yang sedang berjalan harus membayar bunga cicilan utang sebesar Rp. 800, 3 triliun yang jatuh tempo. Utang pemerintah Per Juni 2025 mencapai Rp. 9.138 triliun (39,64 persen PDB). Bahkan untuk menutupi defisit belanja negara, pemerintah mesti membuat utang baru sebesar 700 triliun. Keterbatasan tersebut harus dikompensasi dengan efesiensi agar dapat membiayai program prioritas.
Beberapa pihak berpandangan bahwa utang masih wajar karena masih di bawah ambang batas maksimal (Maastricht) 60 persen terhadap PDB atau menggunakan logika pembanding, bahwa utang negara - negara lain lebih besar, seperti Jepang, Sudan, China, Singapura, Ingris, Prancis dll. Hal yang tidak disadari, bahwa bahaya utang bukan hanya pada besarannya, tetapi resiko besar dapat mengintai jika utang tidak dibelanjakan secara produktif dan juga lemahnya kelembagaan ekonomi. Pelajaran berharga bagi negeri ini adalah krisis ekonomi 1997.
Utang yang relatif besar tetapi tidak dapat menjadi penggerak otot dan organ ekonomi, dipastikan ada masalah ditingkat tata kelolanya. Efeknya, pertumbuhan ekonomi selama satu dekade relatif melandai pada 5 persen, dibandingkan pada pemerintahan sebelumnya (SBY) yang dapat mencapai 6 persen. Indikator lain; penurunan kontribusi industri (deindustrialiasasi) selama 10 Tahun terakhir, penurunan kelas menengah, melemahnya tingkat daya beli masyarakat, penurunan daya saing, pelemahan nilai rupiah terhadap dolar, serta kesemrautan tata kelola investasi dengan nilai ICOR 6.
Atas sengkarut tersebut, program prioritas pemerintah berupa ketahanan pangan dan energi, makan bergizi gratis, sekolah rakyat, dan koperasi desa terpaksa diselenggarakan dalam keterbatasan fiskal. Program prioritas dan populis ini, menyebabkan pemangkasan anggaran sekitar 300 triliun.
Beberapa kalangan, memandang efesiensi bukan hanya sekedar pemangkasan anggaran, tetapi suatu terobosan agar belanja kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah makin berkualitas dan makin fokus pada belanja layanan publik. Belanja kegiatan serimonial dan perjalanan dinas yang tidak produktif mesti dikurangi.
Efesiensi dapat pula dipandang sebagai anti kedap dari kebocoran APBN yang ditengarai lebih dari 30 % selama ini. Kebocoran dengan berbagai modus operandinya bahkan sudah menyatu dengan institusi itu sendiri, sehingga sulit untuk mengurainya, apa lagi untuk menghentikannya. Logikanya, tanpa ada efesiensi pun, APBN tetap raib oleh para maling berdasi. Dengan efesiensi mempersulit para tikus membuat lubang baru untuk menampung anggaran siluman.
Bahwa setiap krisis adalah momentum untuk melakukan perubahan yang lebih fundamental. Pemotongan anggaran besar - besaran pada setiap kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah adalah momentum untuk berbenah diri. Bukan untuk mengeluh apalagi terus bernostalgia dengan anggaran melimpah yang mudah disalah gunakan. Reformasi institusional adalah keniscayaan, untuk memastikan dan menjamin efektivitas, profesionalitas, dan akuntabilitas birokrasi.
Efesiensi Bermetastasi ke Resentralisasi
Dalam perjalanannya, efesiensi terkesan standar ganda, ada pemotongan yang besar terhadap dana transfer ke daerah (TKD) karena alasan keterbatasan fiskal, tetapi pembengkakan struktur di tingkat pusat yang justru cenderung pemborosan anggaran. Selain itu, pengalihan anggaran besar - besaran untuk membiayai program prioritas, tetapi semua dalam kendali pemerintah pusat.
Pemotongan anggaran TKD dan penempatan dana sisa anggaran lebih (SAL) sebesar 200 triliun ke lima bank pemerintah, dapat dibaca sebagai ketidak percayaan pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah dalam hal alokasi, efektifitas, dan efesiensi pengelolaan anggaran. Pemerintah nasional terlihat obsesif dan agresif menggelontorkan anggaran yang pemanfaatannya dirasakan langsung masyarakat bawah, tetapi pengelolaannya dikendalikan langsung pemerintah pusat.
Efesiensi seolah mengalami pergeseran makna, dari optimalisasi dan penghematan sumber daya menjadi memperkuat kendali vertikal dan mempercepat perintah dari pusat ke daerah untuk memastikan program prioritas terlaksana.
Belanja negara cenderung tersentralisasi, mungkin karena belajar dari lambannya pemerintah daerah dalam serapan anggaran. Pemerintah daerah juga cenderung konservatif dalam meningkatkan produktifitas kegiatan ekonomi. Selama masa otonomi daerah, pemerintah daerah tidak memanfaatkannya secara kreatif untuk menggali sumber - sumber pembiayaan baru dan asset - asset daerah makin produktif agar memiliki kemandirian fiskal. Sebaliknya, justru ketergantungan fiskal makin tinggi. PAD yang cenderung stagnasi.
Peran negara yang terlihat sangat kuat, tidak lagi sekedar regulator, tetapi menjadi pemain utama disemua lapangan ekonomi. Kebijakan fiskal rasa moneteris, Danantara sebagai instrumen di luar APBN untuk mengakumulasi dan mengkonsolidasikan BUMN - BUMN sebagai sumber pembiayaan. Apakah ini ciri dari kapitalisme negara dalam akumulasi modal menuju negara kesejahteraan. Atau kah justru etatisme, suatu paham dalam pemikiran politik yang menjadikan negara sebagai pusat segala kekuasaan.
Jika hal itu benar, banyak kajian dan bukti empiris tentang negara yang kuat atau dominan dalam sebuah gelanggang ekonomi, justru terperosok ke dalam ekonomi yang lemah akselerasi, karena ketidakadaan efesiensi, inovasi, dan partisipasi pasar.
Peter Evan, berpandangan bahwa negara yang kuat secara kelembagaan tetapi tertutup dari partisipasi masyarakat dan pasar cenderung menciptakan stagnasi ekonomi. Selanjutnya, Douglass C North, bahwa keterlibatan negara yang berlebihan justru menciptakan ketidak pastian aturan dan perilaku rente yang menurunkan efesiensi ekonomi.
Semoga ini hanya strategi jangka pendek, setelah semuanya berjalan di jalur yang tepat, karena kapasitas institusional dan sumber daya manusia sudah ter up-grade pada level tinggi, otot - otot desentralisasi dipulihkan kembali untuk dapat bekerja lebih orisinil.
Ridwan Andi Usman
0Komentar