');
GpGiGpY5GUClBSW9BUd8TUW9BY==
Breaking
NEWS REPORT

Kopi Pagi : Ketika Stand Up Comedy Jatuh ke Bawah

Ukuran huruf
Print 0

WEKACE, Pagi ini, kopi terasa lebih pahit dari biasanya. Bukan karena barista salah takaran, tapi karena ada komika terkenal yang baru saja membuktikan bahwa tidak semua orang yang berdiri di atas panggung punya otak yang ikut berdiri bersamanya.

Pandji Pragiwaksono—sang komika intelektual yang kerap mengkritik pemerintah dengan analisis tajam—rupanya lupa bahwa riset juga diperlukan saat hendak membuat lelucon tentang budaya orang lain. Atau mungkin dia pikir, "Ah, ini kan cuma joke, santai aja." 

Sayangnya, masyarakat Toraja tidak tertawa. Mereka justru marah. Dan sangat wajar.


Dalam video stand up yang kini viral—bukan karena lucunya, tapi karena kontroversialnya—Pandji dengan percaya diri menyebut bahwa orang Toraja "jatuh miskin" gara-gara bikin pesta pemakaman mahal. Ia juga mengklaim ada "praktik umum" menyimpan jenazah di ruang tamu, bahkan di depan televisi.

Wah, informasi dari mana ini, Bang? Dari grup WhatsApp keluarga? Atau dari thread Twitter yang ditulis orang iseng jam 2 pagi?

Perhimpunan Masyarakat Toraja Indonesia (PMTI) Makassar langsung turun tangan membantah dengan tegas. Ketua mereka, Amson Padolo, menjelaskan bahwa Rambu Solo bukan "pesta kemewahan" melainkan ritual penghormatan terakhir yang sakral, penuh filosofi, dan mencerminkan nilai kekerabatan serta gotong royong.

Dan soal jenazah di depan TV? "Tidak benar dan sangat menyinggung," tegas Amson. Jenazah disemayamkan di ruang khusus dengan penuh hormat, bukan dijadikan teman nonton sinetron sore.

Tapi ya sudahlah, mungkin bagi sebagian komika, akurasi itu cuma bumbu tambahan yang boleh diskip kalau lagi buru-buru bikin materi.


Ironi paling menyakitkan dari kasus ini adalah: budaya Toraja sudah diakui UNESCO sebagai warisan budaya takbenda dunia. Wisatawan mancanegara kagum dan hormat. Antropolog menulis buku tebal tentangnya. 

Tapi komika lokal? Jadiin bahan becandaan murahan.

Mungkin ini saatnya kita bertanya: apakah "kebebasan berekspresi" itu termasuk kebebasan untuk merendahkan budaya sakral orang lain tanpa riset yang layak? Apakah "stand up comedy" harus "stand up" di atas penderitaan dan kesalahpahaman?


PMTI menuntut Pandji untuk meminta maaf secara terbuka. Bukan karena mereka anti-kebebasan berekspresi, tapi karena ada garis tipis antara satire cerdas dan sinisme dangkal yang menyakiti.

Amson Padolo menutup pernyataannya dengan kalimat yang seharusnya ditempel di dinding setiap panggung komedi di Indonesia:

"Tidak semua hal bisa dijadikan bahan tertawaan. Bagi kami, ini bukan lucu, ini menyakitkan."

Dan memang benar. Komedi yang baik itu seperti kopi pahit: boleh getir, tapi harus punya rasa. Bukan asal ngomong lalu bilang, "Santai bro, ini kan joke."


Pagi ini, sambil menyeruput kopi yang masih hangat, kita diingatkan bahwa menjadi tokoh publik itu datang dengan tanggung jawab. Terutama tanggung jawab untuk tidak sembarangan membuat lelucon tentang hal yang tidak kita pahami dengan baik.

Pandji selama ini dikenal sebagai komika yang pintar, kritis, dan berani. Tapi pintar tanpa empati ya ujung-ujungnya cuma jadi arogan. Kritis tanpa riset ya cuma jadi asal bunyi.

Jadi, sebelum naik panggung lagi, mungkin Pandji perlu duduk dulu. Ambil secangkir kopi. Lalu baca lebih banyak tentang budaya yang mau dijadikan materi.

Kalau masih bingung juga, ya sudah—jangan dijadiin joke.

---

Catatan Redaksi:Kopi pagi ini terasa pahit. Semoga besok lebih manis. Dan semoga para komika belajar bahwa lelucon yang baik itu bukan yang bikin orang lain menangis—kecuali ketawa sampai nangis, bukan nangis beneran.

Secangkir Kopi PagiMenyajikan realita dengan secubit satire, tanpa kehilangan rasa hormat.
Kopi Pagi : Ketika Stand Up Comedy Jatuh ke Bawah
Periksa Juga
Next Post

0Komentar

Tautan berhasil disalin