Ketika Beringin Bernostalgia sambil Minum Kopi di Istana
WEKACE, Senin pagi yang cerah di Istana Kepresidenan Jakarta. Aroma kopi tercium, hangat seperti kehangatan silaturahim politik yang tak pernah dingin. Bahlil Lahadalia, sang Ketua Umum Partai Golkar, datang dengan senyum penuh harapan dan map berisi "jasa-jasa" yang menurutnya sudah lebih dari cukup untuk sebuah gelar kehormatan tertinggi.
Kali ini bukan soal kursi menteri atau jatah anggaran. Ini soal yang lebih agung: mengangkat pendiri partainya, Soeharto, menjadi Pahlawan Nasional.
"Pak Presiden," kata Bahlil dengan penuh keyakinan setelah pertemuan, "kami sudah mengajukan Pak Harto sebagai Pahlawan Nasional."
Ah, kopi pagi memang selalu cocok dengan obrolan nostalgia.
Menu Pahlawan: Silakan Pilih dari Daftar
Bahlil datang dengan daftar lengkap jasa-jasa yang diklaim layak untuk gelar pahlawan. Mari kita baca menunya:
Starter: Pendiri Golkar
Tentu saja. Karena mendirikan partai politik yang berkuasa adalah langkah heroik setara memerdekakan bangsa.
Main Course: Presiden 32 Tahun
Lama, bukan? Bayangkan, 32 tahun. Itu seperti langganan Netflix seumur hidup, tapi versi kursi kepresidenan. Siapa yang bisa bertahan selama itu kalau bukan seorang pahlawan?
Side Dish: Era "Macan Asia"
Indonesia pernah disegani, kata Bahlil. Seperti macan. Macan yang gemuk di kandang emas, mungkin. Tapi tetap macan.
Dessert: Kedaulatan Pangan & Energi
Ah, masa-masa saat rakyat swasembada beras dan BBM murah. Atau setidaknya, begitulah yang tertulis di buku-buku pelajaran yang disetujui Depdikbud era itu.
Bonus: Pengendali Inflasi
"Inflasi kita sekian ratus persen," kata Bahlil, mengingatkan bahwa ada masa saat inflasi memang gila-gilaan. Tapi kemudian dikendalikan. Entah oleh siapa atau bagaimana, yang penting ada jasa.
Menunya lengkap. Hanya saja, menu ini disajikan dengan satu catatan kaki kecil yang sering terlupakan: "Efek samping mungkin termasuk trauma kolektif, praktik korupsi masif, dan pelanggaran HAM berat. Konsultasikan dengan sejarawan independen sebelum dikonsumsi."
Plot Twist: Daftar Tunggu yang Awkward
Tapi inilah ironi paling segar dari kisah ini. Usulan Soeharto tak datang sendirian. Di meja yang sama, ada 40 nama lain yang sedang mengantre. Dan di antara nama-nama itu, ada dua yang mencuri perhatian:
Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
Presiden yang justru muncul di era reformasi, era yang lahir karena jatuhnya rezim Orde Baru. Tokoh pluralisme yang membela minoritas, yang digulingkan karena terlalu demokratis di mata sebagian elite politik. Gus Dur dan Soeharto dalam satu daftar? Ini seperti memasukkan api dan air dalam satu gelas.
Marsinah
Buruh pabrik yang dibunuh pada 1993, di era Orde Baru, karena memperjuangkan hak-hak rekan-rekannya. Kematiannya menjadi simbol perlawanan buruh terhadap rezim yang represif. Dan kini, nama Marsinah harus bersanding dengan nama pemimpin rezim yang sama?
Ini bukan lagi daftar calon pahlawan. Ini seperti undian arisan di mana semua kontestan saling menatap dengan canggung, bertanya-tanya siapa yang sebenarnya paling pantas duduk di meja kehormatan.
Kopi Prabowo: "Saya Terima dan Akan Mempertimbangkan"
Prabowo, sang mantan menantu Soeharto, menerima usulan itu dengan diplomatis. "Saya menerima dan akan mempertimbangkan," katanya. Kalimat yang sangat aman, sangat politis, dan sangat... menunda.
Tentu saja ada prosedur. Ada mekanisme internal. Ada Dewan Gelar yang harus mengkaji. Ada pertimbangan historis, akademis, dan—mari kita jujur—politis.
Bayangkan posisi Prabowo. Di satu sisi, ada partai pendukung besar yang mengajukan mertua politiknya sendiri. Di sisi lain, ada tuntutan masyarakat sipil untuk menghormati korban-korban era yang sama. Ini seperti disuruh memilih antara kopi pahit dan kopi yang lebih pahit.
Kesimpulan: Kopi Dingin di Akhir Cerita
Bahlil pulang dengan harapan penuh. Prabowo melanjutkan rutinitas presidensialnya dengan tumpukan keputusan berat. Dan kita, rakyat biasa, menunggu sambil menyeruput kopi dingin, bertanya-tanya:
Apakah gelar "Pahlawan Nasional" kini hanya soal siapa yang punya lobi paling kuat? Apakah sejarah bisa ditulis ulang dengan secangkir kopi dan map proposal? Atau jangan-jangan, gelar itu memang sudah kehilangan maknanya sejak lama?
Satu hal yang pasti: di republik ini, segala sesuatu bisa diajukan, didiskusikan, dan "dipertimbangkan." Termasuk mengangkat seseorang yang rezimnya menghasilkan korban, untuk disandingkan dengan korban-korban rezim itu sendiri dalam daftar yang sama.
Ironis? Tentu.  
Menggelikan? Bisa jadi.  
Menyedihkan? Pasti.
Tapi inilah Indonesia. Di mana kopi politik tidak pernah terasa cukup pahit, karena selalu ada yang bisa menambahkan gula nostalgia dan susu revisionisme sejarah.
Selamat menikmati kopinya, Pak Presiden. Semoga tidak tersedak.
---
Disclaimer: Tulisan ini adalah satire. Jika Anda merasa tersinggung, mungkin karena Anda terlalu lama minum kopi yang sama.
0Komentar