WEKACE, Wak, siapkan Koptagul, bila perlu dua cangkir. Karena, ini sangat seru. Seorang gubernur yang katanya bak malaikat, baru saja dikandangin KPK lewat operasi senyap, OTT. Simak narasinya dengan enjoy.
Kurang apa lagi Gubernur Riau satu ini? Religius, merakyat, bibirnya manis seperti ayat suci yang baru turun dari langit. Saat kampanye dulu, aura kesalehannya bisa bikin tiang listrik ikut mengucap amin. Ia didukung Ustaz Abdul Somad (UAS), dai kondang yang katanya mampu membedakan antara kebaikan dan kebusukan manusia. Tapi ternyata, yang satu ini bukan malaikat bersayap, melainkan tikus berdasi yang tahu cara berdoa sebelum mencuri.
Senin, 3 November 2025, sekitar pukul 13.00 WIB, KPK menjemput Abdul Wahid di Pekanbaru. Tidak dengan karpet merah, tapi dengan borgol berkilau dan wajah panik para ajudan. Operasi senyap itu digelar di kantor Dinas PUPR Riau. Selain sang gubernur, beberapa pejabat juga ikut diamankan. Dugaannya? Ya, proyek infrastruktur, kata yang di Indonesia sudah lama menjadi sinonim dari “pesta korupsi berjamaah.”
Padahal, Abdul Wahid ini dulunya simbol harapan. Lahir di Belaras, Indragiri Hilir, dari keluarga sederhana. Lulus SD Negeri Sei Simbar tahun 1994, lanjut MTs Sei Simbar, lalu MAN Bukittinggi, kuliah di UIN Sultan Syarif Kasim, dan meraih gelar M.Si dari Universitas Riau. Kariernya pelan tapi pasti, DPRD Riau, DPR RI, lalu gubernur. Latar belakang pesantren, aktif di HMI dan NU. Dalam kampanye, ia menekankan transparansi anggaran dan reformasi birokrasi. Dalam pidatonya, kata “bersih” keluar lebih sering daripada kata “korupsi.” Tapi rupanya, kebersihan itu hanya retorika spiritual yang disemir agar tampak mengkilap di baliho.
Yang bikin publik terkejut bukan hanya OTT-nya, tapi juga karena Abdul Wahid adalah gubernur pilihan UAS. Pada 25 September 2024, di Hotel Aryaduta Pekanbaru, UAS menandatangani 16 poin komitmen politik dengan Wahid dan wakilnya, SF Hariyanto. UAS hadir di tabligh akbar, kampanye di Dumai, menyebut mereka sebagai “pemimpin bermarwah.” Kini publik bertanya-tanya: marwahnya di mana? Di kantor KPK atau di ruang pemeriksaan gratifikasi?
Koalisi pengusungnya megah. PKB, PDIP, dan NasDem. Partai Islam, partai nasionalis, partai perubahan. Semuanya bersatu demi satu hal, ternyata, demi proyek. Begitu indah di atas kertas, tapi begitu busuk di balik amplop. Rakyat waktu itu percaya, Wahid adalah simbol pemimpin baru yang bersih. Kini mereka sadar, ternyata yang baru hanyalah gaya mencurinya.
Mungkin beginilah hukum alam politik di Indonesia. Setiap kali rakyat menemukan “pemimpin saleh,” alam semesta langsung menyiapkan pasal korupsi yang sesuai. Wahid seolah sedang membuktikan teori klasik, kekuasaan itu bukan lagi ujian, tapi jebakan. Ia bukan jatuh karena terpleset, tapi karena sengaja menapaki jalan berlumpur dengan kesadaran penuh, sambil tersenyum di depan kamera dan berkata, “Demi rakyat.”
Kini KPK punya waktu 1x24 jam menentukan status hukumnya. Tapi rakyat tidak perlu waktu lama untuk memvonis, bersalah di hati mereka. Sebab dari setiap proyek jalan yang mangkrak, ada jejak moral yang retak. Dari setiap pidato antikorupsi, ada amplop yang disembunyikan. Dari setiap doa kampanye, ada rekening yang tumbuh subur seperti sawit.
Ironisnya, Abdul Wahid bukan satu-satunya. Ia hanyalah bab terbaru dari kitab korupsi Indonesia, edisi “Religius tapi Rakus.” Mungkin nanti, di ruang tahanan, ia akan berdzikir sambil menghitung hari menuju sidang. Atau mungkin, ia masih berdoa agar proyek terakhirnya tetap jalan, meski sekarang jalannya menuju penjara Sukamiskin. Kita para pengopi, rakyat yang menonton, hanya bisa tertawa getir. Ternyata iman bisa kalah oleh iming-iming 10 persen. Inilah tragedi paling lucu sekaligus paling menjijikkan di republik ini. Ketika doa dijadikan tameng, dan korupsi jadi ibadah terselubung.
Foto Ai hanya ilustrasi
Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
0Komentar