WEKACE, Walau sering terucap "I hate monday" kali ini kita dihadapkan rasa bangga. Senin terasa bangga karena jagoan kita, Jojo juara lagi. Simak narasinya dengan Koptagul, wak!
Di tengah berita tentang silpa menggumpal, proyek mangkrak, dan drama politik yang tak kalah dari sinetron Ikatan Dana, tiba-tiba sebuah kabar suci menembus layar kaca, Jonatan Christie menang lagi! Dari Saarbrücken, Jerman, Jojo kembali mengangkat raketnya, bukan untuk memukul shuttlecock semata, tapi juga untuk memukul duka bangsa yang sedang bingung mau bangga sama apa.
Nuan bayangkan! Di Saarlandhalle yang dinginnya bisa membekukan emosi, Jojo tampil seperti pahlawan Marvel versi badminton. Lawannya, Magnus Johannesen dari Denmark, yang namanya saja sudah terdengar seperti pahlawan Nordik, dibuat takluk dua gim langsung dengan skor identik, 21–14, 21–14. Seolah semesta memang sedang berpihak pada Jojo, yang mungkin disponsori bukan perusahaan minuman, tapi oleh doa ibu-ibu komplek yang tiap malam berzikir sambil nonton badminton.
Awal gim pertama, Jojo tertinggal 0–4. Seketika rakyat Indonesia yang menonton dari warung kopi, sambil menahan napas dan menunda cicilan, langsung berkata, “Aduh Jojo, jangan dulu kalah, negeri ini sudah cukup banyak kalah.” Tapi seperti biasanya, Jojo bangkit. Dengan ketenangan yang bisa membuat malaikat menulis puisi, ia membalik keadaan menjadi 11–9, lalu menutup gim dengan elegan di angka 21–14.
Masuk gim kedua, Jojo tak lagi basa-basi. Ia langsung tancap gas seperti bensin baru turun harga. Magnus mencoba mengejar, tapi setiap kali shuttlecock dikembalikan, arah bola seolah berkata, “Maaf, ini wilayah Jojo.” Lagi-lagi berakhir dengan skor 21–14, angka kembar yang kini terasa seperti kode rahasia kebangkitan nasional.
Kemenangan ini bukan cuma soal angka dan piala. Ini semacam terapi jiwa kolektif bangsa yang sedang dilanda lelah. Saat sebagian rakyat menatap harga beras naik, Jojo menunjukkan, sesuatu masih bisa naik tanpa bikin panik, semangat! Saat sebagian pejabat sibuk berkelit dari audit, Jojo malah menghadapi smash keras lawan dengan muka tenang, tanpa buzzer, tanpa drama.
Tiga gelar di tahun 202, yakni Korea Open, Denmark Open, dan kini Hylo Open, membuat Jojo seperti mengoleksi sertifikat kesetiaan pada Merah Putih. Ia tidak sekadar bertanding, tapi menyanyi dengan raketnya. Di setiap ayunan, terdengar lagu perjuangan yang tidak butuh orkestra, hanya keberanian dan keringat yang beraroma patriotisme.
Sementara itu, dua finalis lainnya, Sabar/Reza di ganda putra dan Putri Kusuma Wardani di tunggal putri, meski belum juara, tetap membuat bangsa ini tersenyum. Sebab di era ketika banyak pejabat sibuk mencari “gelar kehormatan”, mereka justru berjuang mencari “gelar juara”.
Hylo Open 2025 akhirnya bukan sekadar turnamen. Ia adalah oasis emosional bagi rakyat yang haus kabar baik. Di tengah headline tentang korupsi, defisit, dan drama APBD, muncul satu berita yang bisa dibaca sambil tersenyum, “Jojo juara lagi.”
Malam itu, entah di warung kopi, kantor, atau ruang tamu sederhana, ada rasa yang sama, bangga. Karena sekali lagi, dari tangan yang memegang raket, bukan amplop, Indonesia bisa berkata pada dunia, dengan gaya santai namun berwibawa “Kami masih bisa menang, Wak.”
Kemenangan Jonatan Christie di Hylo Open 2025 mengajarkan bahwa kejayaan tidak lahir dari sorakan penonton, tapi dari ketekunan yang tak terlihat, dari keringat, kesabaran, dan kejujuran pada proses. Di tengah hiruk-pikuk negeri yang sering lupa makna perjuangan, Jojo mengingatkan kita, membanggakan bangsa tidak harus dengan janji besar atau jabatan tinggi, melainkan dengan kerja nyata, disiplin, dan ketulusan yang membuat setiap kemenangan terasa seperti doa yang terkabul untuk seluruh rakyat.
Terbang tinggi burung merpati,
Hinggap sejenak di dahan jati.
Jojo berjuang dengan hati,
Harum namanya di negeri sendiri.
Foto Ai hanya ilustrasi
Editor :
Rosadi Jamani
0Komentar