WEKACE, Entar lagi kita memperingati Hari Pahlawan. Kalian pasti sudah jadi pahlawan, benarkan? Pahlawan untuk keluarga pastinya. Ada dua tokoh yang sampai sekarang belum diakui negara sebagai Pahlawan Nasional. Padahal, jasanya sangat besar. Simak narasinya sambil seruput Koptagul, wak!
Dalam sejarah Indonesia, dua nama itu berdiri gagah tapi juga disorot penuh curiga. Mereka adalah Sultan Hamid II dari Pontianak dan Soeharto dari Kemusuk, Yogyakarta. Dua-duanya sama-sama punya jasa besar, sama-sama punya dosa besar (menurut sebagian orang), dan sama-sama belum diberi gelar Pahlawan Nasional. Ironisnya, bendera negara berkibar di bawah lambang hasil karya satu, dan negara berdiri tegak tiga dekade di bawah komando yang lain. Tapi, dua-duanya malah dibiarkan nongkrong di ruang tunggu sejarah, seperti tamu kehormatan yang ditolak masuk pesta karena bajunya terlalu mencolok.
Sultan Hamid II, nama yang kadang muncul di buku pelajaran tapi cepat hilang seperti iklan vitamin, adalah otak di balik Garuda Pancasila. Ia bukan cuma “perancang lambang”, tapi pemahat identitas negara. Tahun 1949, di tengah hiruk-pikuk Republik Indonesia Serikat, Hamid duduk di meja gambar, menciptakan sosok Garuda berleher gagah dengan perisai Pancasila di dada. Bung Karno menyetujui hasilnya. Artinya, tiap kali kita hormat pada bendera, kita sebenarnya juga hormat pada karya Sultan Hamid. Tapi sejarah tak sesederhana itu. Ia terseret dalam kisah APRA, Angkatan Perang Ratu Adil, yang dipimpin Westerling. Tuduhan makar pun datang, dan sejarah resmi menulisnya dengan tinta curiga. Ia ditangkap, diadili, dipenjara. Namanya pun dibekukan dalam kabut. Garudanya tetap terbang, tapi penciptanya dijadikan catatan kaki.
Lalu datanglah Soeharto. Jenderal bersuara lembut tapi berkehendak baja. Ia naik tahta setelah 1965, membawa slogan stabilitas dan pembangunan. Selama 32 tahun, ia membangun jalan, bendungan, sawah, dan juga rasa takut. Indonesia di tangannya tumbuh bagai rumah megah di atas pondasi yang retak. Ada yang bilang, tanpa Soeharto, Indonesia takkan punya stabilitas ekonomi. Ada pula yang membalas, tanpa Soeharto, Indonesia takkan punya trauma kolektif sebesar itu. Tahun 1998, rakyat turun ke jalan, Orde Baru runtuh, dan Soeharto turun takhta dalam wajah muram sejarah. Setelah itu, tiap kali ada usul menjadikannya pahlawan, protes bermunculan seperti jamur di musim skandal.
Lucunya, dua tokoh ini kini senasib. Sama-sama berjasa, sama-sama berdebat dengan masa lalu. Sultan Hamid terjebak dalam tuduhan kolonialisme, Soeharto dalam tuduhan otoritarianisme. Satu membuat lambang negara tapi dianggap “kurang nasionalis”, satu memimpin negara tapi dianggap “terlalu nasionalis”. Kalau keduanya duduk satu meja di surga sejarah, mungkin mereka tertawa, “Kau bikin Garuda, aku pelihara Garuda, tapi dua-duanya tak dianggap pahlawan.”
Negara tampaknya bingung. Mau kasih gelar, takut diserang moral publik. Mau diam saja, takut dikira lupa jasa. Maka lahirlah formula klasik birokrasi, rapat, tim kajian, seminar, naskah akademik, rekomendasi, dan akhirnya, “Masih perlu dikaji lebih mendalam.” Itu artinya, tunggu saja, sampai semua yang protes mati duluan.
Padahal, kalau logika sejarah diterapkan secara lurus, Garuda Pancasila tak mungkin muncul tanpa Sultan Hamid. Pembangunan Indonesia tak mungkin seperti sekarang tanpa Soeharto. Tapi sejarah Indonesia memang bukan garis lurus, melainkan benang kusut yang diikat dengan tali politik. Gelar pahlawan bukan sekadar soal jasa, tapi juga soal siapa yang sedang berkuasa dan siapa yang paling rajin mengatur narasi.
Akhirnya, dua nama itu tetap terbang di udara seperti Garuda yang kehilangan sarang. Sultan Hamid II, sang arsitek lambang, masih menunggu rehabilitasi moral. Soeharto, sang pengendali negara tiga dasawarsa, masih menunggu amnesti sejarah. Mungkin suatu hari, bangsa ini akan cukup dewasa untuk memutuskan, mana yang lebih penting, menilai masa lalu dengan dendam, atau mengakui kebenaran tanpa takut dikritik.
Sampai saat itu tiba, Sultan Hamid dan Soeharto akan terus menjadi dua tokoh besar yang paradoksal. Satu menciptakan lambang negara, satu menjaga negara, dan keduanya, lucunya, belum juga dianggap cukup “nasional” untuk jadi pahlawan nasional.
Foto Ai hanya ilustrasi
0Komentar