'); Membongkar Cara Licik Menikmati Bunga Bank oleh Kepala Daerah

Membongkar Cara Licik Menikmati Bunga Bank oleh Kepala Daerah

WEKACE, Ente pernah dengar ndak, ada keluhan, dana pusat belum turun. Uangnya nanti dirafel tiga bulan atau enam bulan sekali. Proyek baru jalan di akhir tahun. Padahal, uang itu ada di bank, cuma diendapkan agar bisa menikmati bunganya. Itu salah satu cara licik Pemda. Mari kita bongkar praktik licik ini sambil seruput kopi tanpa gula, wak

Kalau nuan masih percaya uang rakyat itu langsung loncat ke jalan berlubang, sekolah reyot, atau perut warga miskin, selamat, pian baru saja jadi alumni negeri dongeng. Di dunia nyata, uang itu nggak langsung kerja. Ia ngaso dulu di tempat lebih adem dan ber-AC, rekening kas umum daerah. Semua dimulai dari Transfer Keuangan Daerah (TKD), mahakarya Kementerian Keuangan yang katanya demi pemerataan pembangunan, tapi sering berakhir jadi “rekening meditasi pejabat”.


Prosedurnya sih suci. Kemenkeu lewat KPPN menyalurkan dana ke rekening kas umum daerah di bank yang sudah ditunjuk. Biasanya Bank Pembangunan Daerah (BPD) bank yang senyumnya manis, tapi giginya kayak lintah. Dana dari APBN itu lalu resmi jadi bagian APBD. Dari sanalah uang rakyat mulai belajar tidur nyenyak sambil beranak bunga.

Ketika bunga mulai tumbuh, dimulailah babak ajaibnya. Bank tidak mengenal tidur siang. Setiap rupiah di rekening, dihitung bunganya per detik. Secara hukum, bunga itu milik kas daerah. Secara moral, mestinya juga begitu. Tapi di realitas politik lokal, moral cuma jadi asesoris. Ada kepala daerah yang lihai bilang, “Ini buat optimalisasi aset.” Padahal aset yang dioptimalkan cuma aset pribadi. Bunga bank pun tersesat arah. Dari kas daerah nyasar ke rekening pribadi, dibungkus jargon “kerja sama strategis”.

Sementara itu di Jakarta, Presiden Prabowo Subianto baru aja teken Perpres Nomor 79 Tahun 2025, menaikkan gaji PNS mulai Oktober. Katanya demi meningkatkan kesejahteraan aparatur. Lucunya, sebagian daerah malah belum nyalurin anggarannya, karena uangnya masih tidur di bank, beranak bunga, tapi belum sempat dipakai. Jangan heran kalau PNS di daerah belum merasakan “kenaikan gaji”, karena dananya masih ngopi bareng direktur bank.

Akang bayangin! Ratusan miliar rupiah dari DAU, DAK, dan DBH ngendon di bank. Di atas kertas, sedang “menunggu kegiatan”. Tapi di balik meja, sedang “menunggu bunga”. Kepala daerah yang licik cukup senyum simpul, “Pembangunan bisa nanti, bunga bisa sekarang.”

Di luar sana, rakyat masih antre di puskesmas sambil berharap ada dokter. Ironisnya, di saat uang rakyat beranak di bank, seorang ODGJ tewas ditembak tiga anggota polisi di OKU. Nyawa rakyat melayang, sementara rupiah rakyat malah dipelihara dengan penuh kasih di rekening pemerintah. Dunia memang adil bagi yang punya saldo.

Begitulah filsafat bunga versi birokrat. Uang rakyat boleh tidur di bank, asal bangunnya membawa bunga yang tak pernah diketahui siapa yang memetik. Anak uang ini tak sempat sekolah, langsung diculik pejabat yang lihai pura-pura tak tahu. Tak ada bukti hitam putih, tapi aroma parfum pejabat masih menempel di kursi direktur bank setiap rapat malam tiba. Bukan teori konspirasi, ini cuma simfoni bunga dan kuasa.

Padahal aturan sudah jelas. Peraturan Menteri Keuangan mengatur, bunga bank hasil TKD wajib disetor ke pendapatan daerah. Tapi pengawasan di lapangan sering kayak jaring laba-laba berlubang. BPK sudah menemukan bunga deposito APBD yang raib, bahkan tak dicatat. Nilainya bisa miliaran per daerah, triliunan kalau nasional. Kalau BPK nanya, jawabannya selalu menenangkan hati, “Sudah disetor kok.” Disetor ke mana? Ya, siapa yang tahu, mungkin ke langit bersama doa.

Begitulah permainan halus tapi menggigit. Kepala daerah tak mencuri uang rakyat. Mereka cuma mendiamkan uang itu agar beranak. Ketika bunga tumbuh, ia memetiknya sambil bilang, “Rezeki jangan ditolak.” Filosofinya sederhana. Kalau rakyat menabung pahala, pejabat menabung bunga.

Foto Ai hanya ilustrasi

Penulis : 

Redaksi

Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama