WEKACE, Tibalah hari itu. Birokrasi Indonesia akhirnya menekan tombol pause. Penerimaan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) resmi dihentikan mulai 2025. Iya, benar, game over. Setelah bertahun-tahun menabur janji, menulis surat keputusan, dan mengangkat harapan tenaga honorer dari Sabang sampai Merauke, pemerintah akhirnya berkata, “cukup sudah.”
Sebelum membaca lebih lanjut, siapkan kopi tanpa gula. Lalu, seruput pelan-pelan, hisap cairan itu ke dalam perut. Ia akan bereaksi di perut menjalar ke otak. Otak yang beku menjadi encer, lalu menjadi waras. Kita lanjutkan kisah syahdu ini.
Menteri PANRB Rini Widyantini, yang tampak tenang seperti guru spiritual birokrasi, mengumumkan hal ini di Semarang. Katanya, 2024 adalah tahun terakhir penerimaan besar-besaran PPPK. Total formasi, 2,3 juta. Fokusnya, mengangkat tenaga honorer jadi ASN. Dari jumlah itu, 1,7 juta sudah diusulkan, satu juta lebih sudah diproses, sisanya entah sedang tersesat di email pejabat yang tak kunjung dibuka.
BKN pun bekerja siang malam. Katanya, sudah 90 persen NIP diterbitkan. Sebuah keajaiban administrasi yang langka di negeri ini. Yang 10 persen lagi? Masih menunggu data dari pemerintah daerah. Barangkali masih diisi manual oleh staf kecamatan yang printer-nya mogok dan Wi-Fi-nya menolak hidup. Tapi tenang, katanya, “akan selesai Oktober 2025.” Kata “akan” memang selalu terdengar heroik di negeri janji ini.
Setelah itu, semuanya akan ditutup. 2025 adalah akhir zaman bagi rekrutmen PPPK nasional. Tak ada lagi pendaftaran massal. Tak ada lagi tes seleksi dengan formasi impian. Yang tersisa hanya tiga lembaga dengan izin khusus ala VIP: KPPU, Kejaksaan Agung, dan Badan Gizi Nasional. Entah karena alasan strategis, atau karena mereka tahu cara mengatur gizi birokrasi agar tetap sehat walau anggaran dipotong.
Bagi para honorer yang gagal di tahap satu dan dua, jangan sedih, eh, maksudnya, boleh sedih tapi pelan-pelan. Pemerintah sudah menyiapkan solusi, yakni alih daya. Ya, outsourcing. Status yang elegan untuk orang yang tetap bekerja tapi tidak diakui sepenuhnya. Seperti pacar lama yang masih sering dimintai tolong, tapi tak pernah diajak nikah. Bahkan, ada wacana PPPK paruh waktu. Mungkin nanti ada ASN shift pagi, siang, dan malam. Pagi ngajar, sore jualan online.
Gubernur Jawa Tengah Ahmad Luthfi dengan penuh keyakinan berkata, “tidak masalah.” Ah, betapa damainya nada itu. Seolah gaji PPPK dibayar pakai daun surga. Padahal di bawahnya, APBD megap-megap. Trenggalek misalnya, harus menanggung gaji 2.234 PPPK karena transfer dari pusat dipotong Rp120 miliar. Majalengka juga tak mau kalah curhat, bilang gaji PPPK bikin angka kemiskinan susah turun. Lucunya, program pengentasan kemiskinan malah terhambat oleh beban gaji pegawai yang katanya mau “mengentaskan kemiskinan.”
Sekarang, total PPPK di Indonesia mencapai 1.167.900 orang, sekitar 25 persen dari total ASN nasional. Sebuah pencapaian monumental, dan sekaligus titik henti. Karena setelah ini, grafiknya tak naik lagi. Pemerintah memilih jalan efisiensi, alias, “gunakan yang ada, maksimalkan yang tersisa.”
Begitulah, wak! Di tahun 2025 ini, ribuan PPPK berdiri di antara kebanggaan dan kebingungan. Mereka ASN, tapi bukan PNS. Mereka dijanjikan stabilitas, tapi diberi tenggat waktu. Di kening mereka tertulis harapan, tapi di map SK mereka terselip tanda tanya besar.
Negeri ini memang pandai mencipta drama tanpa naskah. Setiap keputusan selalu terdengar seperti puisi birokrasi, penuh janji, sedikit logika, banyak efek samping. Kini, ketika PPPK resmi berhenti direkrut, kita semua tahu, ini bukan sekadar kebijakan, ini epos baru tentang kesetiaan yang tidak lagi punya formasi.
Kita, para pengopi tanpa gula, juga rakyat penonton setia negeri administrasi sakral ini, hanya bisa mengusap dada… sambil berdoa, semoga SK hidup kita tidak ikut kadaluarsa di akhir Oktober 2025.
Foto Ai hanya ilustrasi
Penulis :
Ketua Satupena Kalbar
Tags
NASIONAL