WEKACE, Pagi tadi angka yang tewas sudah 64 orang. Malam ini, angka korban tak bernyawa sudah 132 orang. Brazil benar-benar tak main-main membasmi peredaran narkoboy. Rakyat sendiri rela dibunuh asal garam China itu tak lagi beredar luas. Simak narasinya sambil seruput Kopi Senang khas Sorong tanpa gula, wak!
Rio de Janeiro, pagi itu, langitnya tak biru, tapi kelabu seolah semesta sendiri menutup mata. Sekitar 2.500 aparat bersenjata lengkap menuruni bukit dengan langkah seperti malaikat maut. Mereka datang bukan membawa surat penangkapan, tapi lisensi untuk menembak. Nama misinya terdengar gagah di atas kertas: Operasi Contenção. Tapi di jalanan Complexo da Penha dan Complexo do Alemão, operasi itu berarti satu hal, perang.
Helikopter berputar di langit, menebar bayangan gelap di atas rumah-rumah reyot. Drone mendengung seperti lebah logam, lalu melepaskan bom yang menghancurkan dinding dan kehidupan sekaligus. Warga tak tahu ke mana harus berlari. Jalanan sempit dipenuhi api, bus-bus dibakar menjadi barikade, dan jeritan bersahutan dengan suara tembakan otomatis. Seorang ibu berlari sambil membawa bayinya, peluru menembus tembok di sebelahnya. Dunia berhenti bernapas.
Gubernur Claudio Castro berdiri dengan dada membusung di depan kamera. “Inilah cara polisi kami diperlakukan, dengan bom yang dijatuhkan dari drone! Ini bukan kejahatan biasa, ini narco-terorisme!” katanya lantang. Kalimatnya seperti dialog film aksi Hollywood yang kehilangan sutradara. Di belakangnya, 132 orang tewas, termasuk empat polisi. Polisi mengklaim 113 orang ditangkap, 91 senapan laras panjang disita, dan “jumlah besar narkoba” ditemukan, tanpa rincian. Di jalanan, warga menggelar tubuh-tubuh yang sudah dingin di lapangan sebagai bentuk protes. Puluhan jenazah berjejer rapi, seperti daftar absen di buku kematian.
Namun pemerintah federal pura-pura tuli. Menteri Kehakiman Ricardo Lewandowski berkata operasi dilakukan “tanpa sepengetahuan pemerintah pusat.” Presiden Lula da Silva mengaku “terkejut.” Dunia pun merespons dengan bahasa diplomatik yang hambar. Kantor HAM PBB menyatakan “ngeri,” lalu diam. Tidak ada yang bisa benar-benar menggambarkan bau mesiu yang menempel di udara, atau darah yang meresap di tanah Rio.
Sementara itu, di Jakarta, pada hari yang sama, 29 Oktober 2025, Presiden Prabowo Subianto berdiri tegak di Lapangan Bhayangkara, Mabes Polri. Ia menyaksikan pemusnahan narkoba terbesar dalam sejarah Indonesia. Ada 214,84 ton barang bukti dari 49.306 kasus dengan 65.572 tersangka dibakar habis. Nilai ekonominya mencapai Rp29,37 triliun. Asap putih membumbung tinggi, menari di langit Jakarta, seolah menjadi simbol harapan, kejahatan bisa dibakar, tidak perlu dibumihanguskan dengan darah. Kontrasnya mencolok, satu negara menyalakan api untuk melindungi rakyat, yang lain menyalakan api di tengah rakyatnya sendiri.
Sementara di Rio, malam turun dengan dingin yang tidak manusiawi. Lampu sirine masih berkedip, menyoroti dinding penuh lubang peluru dan tubuh-tubuh tanpa nama. Dari balik reruntuhan, seekor anjing menggonggong, mungkin memanggil majikannya yang tak akan kembali. Thiago do Nascimento Mendes, tangan kanan pemimpin Comando Vermelho, ditangkap. Tapi Edgard Alves de Andrade, sang pemimpin utama, lolos. Seakan menegaskan, dalam perang ini, yang mati bukanlah penguasa kejahatan, melainkan rakyat yang malang dan salah tempat.
Brasil menyebutnya “operasi keamanan.” Dunia menyebutnya “tragedi.” Tapi bagi yang hidup di sana, ini bukan peristiwa, ini kebiasaan. Malam itu, di bawah langit yang berasap, sejarah menatap Rio dengan ngeri. Karena untuk pertama kalinya, perang melawan narkoba berubah menjadi perang melawan manusia itu sendiri.
Foto Ai hanya ilustrasi
Penulis :
Ketua Satupena Kalbar
Tags
VIRAL