'); Pemerintah Temukan Cara Jitu Turunkan Kemiskinan, Pasang Stiker Keluarga Miskin

Pemerintah Temukan Cara Jitu Turunkan Kemiskinan, Pasang Stiker Keluarga Miskin

WEKACE, Biasanya, banyak orang ngaku miskin. Tujuannya ingin dapat Bansos. Kali ini, sebaliknya, justru menolak mengaku miskin. Why? Karena, pemerintah sudah menemukan cara jitu menurunkan angka kemiskinan. Simak narasinya sambil seruput kopi Senang khas Sorong tanpa gula, wak!

Dunia boleh sibuk bikin strategi ekonomi, menggambar grafik, atau bikin teori sosial berlapis Excel, tapi Indonesia lagi-lagi berhasil menemukan cara paling efisien untuk menurunkan angka kemiskinan, yakni tempel stiker “Keluarga Miskin” ukuran 40 x 50 cm di depan rumah rakyat! Tanpa rapat kabinet, tanpa APBN, tanpa riset Bank Dunia, cuma kertas merah, lem, dan rasa malu nasional.


Kisah heroik ini terjadi di Kabupaten Kepahiang, Bengkulu. Dipimpin oleh Helmi Johan, Dinas Sosial setempat menjalankan program revolusioner sejak 20 Oktober 2025. Rumah penerima bantuan sosial (Bansos) ditempeli stiker besar bertuliskan “Keluarga Miskin.” Tujuannya mulia, biar masyarakat bisa ikut mengawasi siapa yang benar-benar layak dapat bantuan. 

Begitu stiker merah itu nempel di tembok rumah, banyak warga langsung merasa seperti dijatuhkan dari kasta sosial. Ada yang langsung nyopot stikernya diam-diam tengah malam, ada yang marah, ada yang sok kaya mendadak. Bahkan ada bapak-bapak yang katanya baru beli mobil Avanza kredit, tapi masih tercatat “miskin” di database. Saat petugas mau nempel stiker, dia teriak dari dalam pagar, “Tunggu, Bang! Saya miskin perasaan, bukan ekonomi!”

Efek domino pun terjadi. Ratusan keluarga di Kepahiang mendadak menolak status miskin. Mereka berbondong-bondong datang ke kantor Dinsos untuk mundur dari daftar penerima bantuan. Alasannya sederhana, gengsi. Mereka lebih rela hidup pas-pasan dari pada disorot tetangga sambil bisik-bisik, “Eh, itu rumah yang ada stikernya lho…” Dalam waktu singkat, angka kemiskinan turun drastis. Bukan karena ekonomi membaik, tapi karena rakyat menolak diakui miskin.

Menteri Sosial Saifullah Yusuf alias Gus Ipul sampai geleng-geleng. Katanya, itu bukan program nasional. Tentu saja bukan, karena kalau nasional, bisa-bisa minggu depan BPS langsung bikin laporan ajaib, tingkat kemiskinan Indonesia turun jadi 0%. Bank Dunia yang mencatat 68,25% rakyat Indonesia miskin pasti langsung kirim email, “Tolong kirimkan spesifikasi stikernya.”

Stiker ini ukurannya memang tidak main-main: 40 cm lebar, 50 cm tinggi, huruf merah tebal seperti tanda bahaya nuklir. Biasanya ditempel di depan pintu atau di atas jendela, biar semua tetangga tahu siapa yang layak dikasih bantuan, atau siapa yang bakal malu setengah mati. Hebatnya, setelah ditempel, banyak keluarga langsung sadar diri, “Ya sudahlah, mending gak usah bansos. Harga diri lebih mahal dari beras.”

Helmi Johan pantas masuk sejarah. Dengan satu kebijakan absurd ini, ia berhasil menghapus kemiskinan secara administratif dan menciptakan teori baru, Kemiskinan bisa hilang kalau masyarakatnya malu. Sosiolog sampai nyebut ini “fenomena psikososial paling absurd di Asia Tenggara.” Bahkan filsuf pun angkat tangan, “Stiker ini bukan sekadar label, tapi simbol eksistensial: aku miskin, maka aku tidak mau diakui.”

Kini, warga Kepahiang hidup dalam babak baru. Babak gengsi berlapis cat tembok. Banyak rumah langsung dicat ulang untuk menutupi bekas tulisan merah, ada yang pasang papan nama baru bertuliskan “Keluarga Mandiri (Tapi Bokek).” Dari semua itu, tersisa satu pelajaran penting, di negeri ini, kemiskinan bukan cuma soal uang, tapi soal reputasi.

Kalau pemerintah mau bikin program baru, tak perlu ribet. Cukup siapkan stiker, printer, dan petugas pemberani. Karena terbukti, di Indonesia, cara tercepat menurunkan kemiskinan bukan lewat ekonomi, tapi lewat rasa malu kolektif.

Foto Ai hanya ilustrasi

Editor :

Redaksi

Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama