'); Perang Narkoboy di Brazil Tewaskan 64 Orang

Perang Narkoboy di Brazil Tewaskan 64 Orang

WEKACE, Mungkin sudah bosan dengan cara persuasif, Brazil turunkan tentara. Geng narkoboy yang menguasai wilayah kumuh diperangi dengan senjata. Mayat bergelimpangan. Kalau lihat foto aslinya bergidik bulu roma. Tak ayal 64 tewas, 81 ditangkap. Simak narasinya sambil seruput kopi Senang khas Sorong tanpa gula, wak!

Rio de Janeiro, 28 Oktober 2025. Hari itu, langit Brasil seolah lupa caranya tersenyum. Awan hitam menggumpal di atas Vila Cruzeiro dan Penha, dua permukiman kumuh yang malam itu berubah jadi medan perang. Helikopter berputar seperti burung maut, senapan serbu menyanyi tanpa irama, dan bumi bergetar oleh derap 2.500 pasukan bersenjata lengkap yang dikirim bukan untuk menjaga, tapi menumpas.


Nama operasi itu terdengar manis di telinga birokrat, Operação Contenção, “operasi penahanan.” Tapi di lapangan, yang ditahan bukan narkoba. Yang berhenti adalah napas. Sedikitnya 64 orang tewas, 81 ditangkap, dan empat polisi ikut roboh dalam baku tembak yang berlangsung berjam-jam. Suara ledakan terdengar sampai bandara internasional, seolah Rio sedang mengabarkan kepada dunia bahwa neraka kini buka cabang di Brasil.

Api menjilat rumah-rumah reyot. Barikade menyala bagai altar pengorbanan. Di atap-atap, sniper geng narkoba membalas tembakan aparat, dan di gang-gang sempit, warga sipil berlari tanpa tahu ke mana. Satu anak kecil terjepit di bawah meja makan, menggenggam mainan yang kepalanya sudah putus. Ia belum mengerti arti perang, tapi malam itu ia belajar arti kehilangan.

Pemerintah menyebut ini kemenangan besar. Tapi kemenangan macam apa yang diukur dari tumpukan mayat? Gubernur Rio, Claudio Castro, dengan suara tenang seperti membacakan pidato kelulusan, menyebut operasi ini sebagai “pertempuran melawan terorisme domestik.” Ia bangga, katanya, karena polisi berhasil menghentikan ekspansi Comando Vermelho, geng narkoba tertua dan terkuat di Brasil. Tapi di antara puing-puing yang berasap, warga justru bertanya, siapa sebenarnya teroris di sini, yang menembak atau yang ditembak?

Comando Vermelho bukan sekadar geng. Mereka sistem yang hidup dari kehancuran sosial. Mereka memberi “perlindungan” pada warga, membagi sembako, memperbaiki listrik, bahkan mengatur keamanan blok. Bagi sebagian orang miskin, negara itu hanya legenda, tapi geng, itu nyata, hadir, dan bersenjata. Di bawahnya berdiri dua kelompok lain, Amigos dos Amigos dan Terceiro Comando Puro, keduanya lahir dari pengkhianatan dan darah, memperebutkan wilayah seperti raja kecil di dunia tanpa hukum.

Para peneliti menyebutnya fenomena narko-feodal. Mereka punya struktur seperti militer, komandan, kurir, penjaga senjata, bahkan drone pengintai. Dari bisnis kokain, ganja, dan ekstasi, mereka memutar jutaan dolar lewat cuci uang dan korupsi lokal. Ketika pemerintah datang membawa tank, mereka menyambut dengan granat dari langit. Ya, granat dari drone, senjata geng yang seharusnya hanya dimiliki negara.

Namun negara diam. Hingga 30 Oktober 2025, Presiden Brasil belum bersuara. Tak satu kalimat pun keluar untuk 64 nyawa yang melayang. Seakan tragedi ini hanyalah angka statistik yang bisa disimpan dalam file Excel.

Padahal angka itu bernyawa. Ada ibu yang kehilangan anaknya. Ada bocah 14 tahun yang dijadikan kurir. Ada warga sipil yang mati karena peluru nyasar di depan pintu rumah. Favela kini bukan tempat tinggal, tapi kuburan berjalan.

Brasil memang salah satu jalur utama perdagangan kokain dunia. Tapi lebih dari itu, kini Brasil juga jalur utama menuju keputusasaan. Setiap peluru yang dilepaskan malam itu bukan sekadar tembakan, melainkan pernyataan, perang melawan narkoba sudah berubah menjadi perang melawan rakyat sendiri.

“Narkoboy di kita juga parah. Katanya selalu diperangi, tapi tak pernah mati, kenapa Bang?”
“Kalau di sini antara yang diperangi dan memerangi kadang terjadi ikatan cinta, wak.” Ups

Foto Ai hanya ilustrasi

Penulis :

Redaksi

Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama