WEKACE, Eforia publik terhadap Menkeu Purbaya lagi kenceng-kencengnya. Di situasi itu, biasanya para pejabat lebih baik tiarap untuk berbeda pendapat. Namun, Gubernur Kalsel, justru menyentil sang koboi asal Bogor itu. Mari simak narasinya sambil seruput kopi tanpa gula, wak!
Ceritanya begini, pian! Semua diawali dengan uang mengendap di bank, Rp234 triliun. Itu disampaikan Purbaya secara jujur ke publik, lengkap dengan nama-nama daerahnya. Publik senang dan mendukung Purbaya. Tapi tiba-tiba, dari arah Kalsel, terdengar suara lantang, berani, dan sedikit garang. Bukan suara angin, tapi suara H. Muhidin, Gubernur Kalsel yang langsung menembak balik sang menteri dengan gaya koboi juga, namun koboi lokal.
“Apa yang dikatakan Pak Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa ini tidak ada kebenarannya. Jangan sampai koboi salah tembak, salah tembak Kalimantan Selatan!”
Waduh. Sontak jagat maya mendesis. Ini bukan sekadar perbedaan pandangan fiskal, ini duel antara menteri yang sedang dielu-elukan publik, melawan gubernur yang nekat menantangnya. Adegan politik yang lebih panas dari stadion PSSI menjelang FIFA Match Day.
Purbaya dengan santai menunjukkan data dari Bank Indonesia. Ada Rp5,17 triliun dana dari Kota Banjarbaru yang mengendap. Ia bicara di panggung nasional, disorot kamera, disambut tepuk tangan. Tapi Muhidin tak gentar. Ia seperti keluar dari ruang guru olahraga, langsung berdiri di depan kamera dan menatap lurus, “Jangan terburu-buru ambil statement, nanti rakyat kacau.”
Yang membuat semua orang mengangkat alis adalah latar belakang sang gubernur. Muhidin bukan lulusan ekonomi, bukan juga ahli fiskal. Ia mantan guru olahraga. Dari 1981 sampai 2004, beliau mengajar anak-anak berlari, bukan menyeimbangkan APBD. Tapi rupanya, setelah 23 tahun meniup peluit, insting “referee”-nya masih tajam. Begitu ada menteri yang menurutnya salah tembak, langsung dia tiup peluitnya: piiiit! “Offside, Pak Menteri!”
Muhidin, lahir di Binuang, Tapin, 6 Mei 1958, punya sejarah panjang. Dari DPRD Tapin, DPRD Provinsi, Wali Kota Banjarmasin, hingga akhirnya jadi Gubernur Kalsel pada 16 Desember 2024. Ia dikenal keras kepala tapi jujur, tipikal orang Banjar yang kalau sudah merasa benar, bisa ngotot sampai matahari terbenam.
Tapi publik terbelah. Sebagian bilang, “Wah, hebat! Gubernur kita berani melawan pusat!” Namun sebagian lain bergumam, “Tapi, kok kayaknya agak emosional ya?” Karena bagaimanapun, Purbaya bukan menteri sembarangan. Beliau sedang dipuja sebagai pahlawan transparansi anggaran, ikon efisiensi fiskal, dan mungkin calon poster boy reformasi keuangan 2025.
Di tengah perdebatan itu, Muhidin tetap tenang. Ia tidak menunduk, tidak meminta maaf, hanya berkata, uang Rp5,17 triliun itu bukan “mengendap,” tapi “menunggu giliran digunakan.” Ibarat pemain cadangan, belum turun ke lapangan, tapi tetap bagian dari strategi.
Di situ letak kelucuannya. Satu pihak bicara data, satu pihak bicara harga diri. Purbaya menembak dengan angka, Muhidin menangkis dengan logika daerah. Publik bingung harus berpihak ke mana, tapi justru di situ hiburannya, seperti nonton duel dua koboi yang sama-sama yakin revolvernya paling cepat.
Namun, di balik itu semua, kita tahu siapa yang sebenarnya memegang panggung. Purbaya tetap tampil sebagai menteri yang konsisten bicara efisiensi dan produktivitas dana publik. Ia tidak menembak pribadi, hanya menembak sistem. Walaupun Muhidin tampak gagah melawan, publik tahu, dalam duel ini, sang menteri tidak sedang menyerang Bumi Lambung Mangkurat, tapi sedang mencoba menyelamatkan Indonesia dari penyakit lama, uang yang diam, tapi tak bekerja.
Akhirnya, kita pun hanya bisa geleng-geleng kepala. Dua tokoh ini sama-sama berani, sama-sama koboi. Tapi satu beraksi demi pertahanan daerah, dan satu lagi menembak demi perbaikan nasional. Meski Muhidin terlihat lebih “panas,” kita tahu, Purbaya tetaplah koboi yang tembakannya paling presisi di padang ekonomi Indonesia.
Foto Ai hanya ilustrasi
Penulis :
Ketua Satupena Kalbar
Tags
SOSOK