WEKACE, Ada momen langka dalam sejarah ekonomi Indonesia. Saat angka, gaya, dan harapan bersatu dalam selembar topi. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa melangkah ke acara resmi dengan kepala tegak dan topi bertuliskan “8%.” Sebuah angka sederhana, tapi di negeri ini, angka bisa jadi ideologi, bisa jadi mantra, bisa jadi bahan meme nasional. Siapkan kopi tanpa gulanya, kita kupas soal Topi 8% ini.
Topi itu dikenakan saat MoU dengan Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni pada 28 Oktober 2025. Pian bayangkan! Dua pejabat menandatangani nota kesepahaman. Sementara di kepala salah satunya tertulis ambisi makroekonomi yang lebih berani dari prediksi Bank Dunia. Saat ditanya, Purbaya menjelaskan dengan tenang, “Ini target presiden ya, bukan target saya.” Sebuah kalimat yang membuat banyak ekonom tersenyum getir sambil membuka Excel, karena spreadsheet pun tahu, antara target dan realisasi itu seperti antara janji kampanye dan laporan BPS.
Namun, jangan terburu sinis, wak. Di balik topi itu tersembunyi filosofi ekonomi tingkat dewa, optimisme sebagai kebijakan fiskal. Kalau di masa lalu orang memakai topi koboi untuk menaklukkan padang pasir, kini Purbaya mengenakan topi 8% untuk menaklukkan statistik pertumbuhan.
Sekarang, data bicara lain. Pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2025 diperkirakan hanya 4,6%–5,4%. Bank Indonesia bilang optimis, APBN menulis 5,2%, dan para analis memutar bola kristal sambil berharap ekspor logam mulia dan CPO benar-benar menolong. Tapi biarlah angka itu sementara kecil. Karena menurut “Mazhab Purbaya,” ekonomi adalah urusan iman sebelum hitung-hitungan.
Ia menyebut strateginya “Soemitronomics.” Sebuah konsep yang terdengar seperti persilangan antara teori ekonomi dan jampi-jampi kuno, terinspirasi dari Soemitro Djojohadikusumo, ayah Prabowo dan salah satu ekonom paling legendaris negeri ini. Soemitronomics punya dua mesin utama, pertama, hilirisasi industri. Artinya, jangan jual mentahan, jual yang sudah mengilap. Nikel jadi baterai, bauksit jadi logam, sawit jadi biofuel, dan harapan jadi ekspor.
Kedua, reformasi fiskal. Ini bagian paling sakral, belanja pemerintah dipercepat, pajak dipoles, BUMN dijadikan mesin turbo pembangunan. Kalau semua berjalan sempurna, 6% jadi mungkin, dan 8% tinggal soal waktu dan semangat gotong royong.
Namun realitas kadang punya selera humor yang kejam. Sementara Purbaya bicara tentang akselerasi ekonomi, PHK massal justru melanda pabrik-pabrik tekstil dan startup digital. Pengangguran terbuka masih di atas 5,5%, kemiskinan ekstrem tetap menolak turun, dan para pekerja informal tetap bekerja keras untuk sekadar menyalakan kompor. Tapi bukankah ekonomi tanpa tantangan itu seperti sate tanpa sambal, kurang sensasi, tak bikin teriak “pedas juga, ya?”
Para pengamat menilai target 8% ini terlalu politis, tapi di situlah letak keindahannya. Ekonomi yang terlalu rasional akan kering. Ekonomi yang berani bermimpi, itu baru punya nyawa. Topi “8%” adalah bentuk paling estetis dari kepercayaan diri nasional. Bukti, kita masih punya imajinasi dalam menghadapi grafik yang kadang menurun.
Sebab ekonomi, pada akhirnya, bukan hanya soal angka di dashboard makro, tapi soal percaya bahwa angka itu bisa naik.
So, kalau nanti nuan melihat seseorang memakai topi bertuliskan “8%,” jangan buru-buru mencibir. Bisa jadi itu bukan sekadar aksesori, tapi simbol kebangkitan spiritual ekonomi Indonesia. Simbol di tengah PHK, defisit, dan harga beras yang keras kepala, masih ada satu hal yang tumbuh lebih cepat dari PDB kita, optimisme.
Topi delapan persen di kepala menari,
Simbol harapan ekonomi gemilang,
Purbaya tersenyum penuh nyali,
Meski data masih setengah bimbang.
“Abang kan suka pakai topi bila lagi ngopi, kenapa tidak minta Topi 8% ke kang Purbaya.”
“Belum dicetak massal, wak! Tapi, kalau dikirimi topi oleh beliau, siapa sih yang nolak.” Ups ngarap.
Foto Ai hanya ilustrasi
Penulis :
Tags
EKOBIS