WEKACE - Dalam sebuah pencerahan spiritual yang datang terlalu terlambat bagi 270 juta rakyat Indonesia, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian akhirnya menemukan solusi revolusioner untuk mengatasi melambungnya harga beras: jangan makan beras.
Imbauan yang disampaikan usai Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi di Kampus IPDN Jatinangor ini sontak membuat para ekonom bertepuk jidat, bertanya-tanya mengapa mereka tidak memikirkan solusi sederhana ini sejak dulu. Ternyata selama ini kita terlalu rumit memikirkan distribusi, subsidi, dan stabilisasi harga, padahal jawabannya sudah ada di depan mata: suruh rakyat makan yang lain.
"Teman-teman di Indonesia Timur, ayo gerakkan pangan lokal yang banyak tersedia," ujar Tito dengan penuh semangat, seolah-olah ia baru saja menemukan api. "Ada keladi, sagu, talas, petatas, semuanya lebih sehat daripada nasi putih."
Pernyataan ini langsung disambut antusias oleh masyarakat Papua yang selama ini kesulitan mendapat beras karena harga yang melonjak akibat "kendala distribusi" - istilah halus untuk mengatakan "kami gagal mengirim beras ke sana dengan harga wajar, jadi kalian atur sendiri ya."
Mari Kita Bicara Kesehatan di Tengah Kemiskinan
Yang paling menarik dari anjuran Pak Menteri adalah timing-nya yang sempurna. Di saat rakyat kesulitan membeli beras karena harganya melambung, beliau dengan bijak mengalihkan narasi ke masalah kesehatan.
"Nasi putih terlalu banyak gulanya, jadi kurang baik untuk kesehatan," tambah Tito, seakan-akan problem utama masyarakat Indonesia timur saat ini adalah diabetes, bukan kelaparan.
Ini strategi komunikasi publik tingkat dewa: ketika rakyat mengeluh tidak mampu beli makanan, katakan saja makanan itu tidak sehat. Masalah selesai! Seperti mengatakan kepada orang yang tidak punya uang beli mobil, "Tenang, jalan kaki lebih sehat kok!"
Zona Tiga: Tempat di Mana Logika Ekonomi Liburan
Menteri Tito menjelaskan bahwa wilayah Indonesia timur masuk dalam "zona tiga," di mana harga beras menjadi sangat mahal karena distribusi yang sulit. Tentu saja, ini adalah fenomena alam yang tidak bisa dihindari, seperti gempa bumi atau hujan meteor.
Bukan karena mismanajemen logistik, bukan karena infrastruktur yang diabaikan selama puluhan tahun, bukan karena kebijakan yang lebih fokus pada stabilitas harga di Jawa ketimbang Tanah Papua. Tidak, tidak. Ini murni karena "kendala distribusi" - sebuah entitas mistis yang muncul sendiri tanpa ada yang bertanggung jawab.
Dan solusinya? Bukan memperbaiki distribusi, bukan membangun infrastruktur, bukan menjamin ketersediaan pangan merata. Solusinya adalah: jangan makan beras!
Pangan Lokal: Yang Selalu Ada, Kecuali Ketika Kita Butuh Alternatif Nyata
"Pangan lokal tersebut tidak hanya lebih sehat, tetapi juga dapat membantu mengatasi kendala harga dan distribusi beras," kata Tito, menggunakan logika yang biasa dipakai penjual jamu: kalau tidak ada obat yang mahal, pakai yang murah saja, sama-sama menyembuhkan kok!
Tentu saja, beliau tidak menjelaskan bagaimana caranya memastikan sagu, keladi, dan talas tersedia dalam jumlah cukup dan harga terjangkau untuk menggantikan beras sebagai makanan pokok. Tidak perlu! Yang penting sudah kasih solusi, implementasinya urusan rakyat.
Juga tidak dijelaskan bagaimana dengan jutaan rakyat Indonesia yang selama puluhan tahun sudah terbiasa dan bergantung pada beras, yang pola konsumsi dan ekonominya sudah terkait erat dengan komoditas ini. Toh tinggal ganti menu, kan? Seperti mengganti kanal TV.
Pesan Moral: Jika Pemerintah Gagal, Salahkan Makanannya
Imbauan Menteri Tito ini adalah pelajaran berharga bagi kita semua tentang seni mengalihkan tanggung jawab. Ketika sistem gagal menyediakan kebutuhan dasar rakyat dengan harga wajar, jangan perbaiki sistemnya - ubah saja kebutuhan rakyatnya!
Besok-besok kalau harga daging ayam naik, tinggal bilang, "Makan tempe saja, lebih tinggi protein!" Kalau harga telur melonjak, "Makan kacang hijau, sama-sama bergizi!" Kalau semuanya mahal, "Puasa saja, lebih sehat dan hemat!"
Brilian.
Jadi, untuk rakyat Indonesia timur: selamat menikmati sagu, keladi, dan talas kalian. Bukan karena itu pilihan kebijakan pangan yang terencana dan didukung infrastruktur memadai, tapi karena kalian tidak punya pilihan lain.
Dan ingat: ini bukan karena pemerintah gagal mendistribusikan beras. Ini karena kalian peduli kesehatan.
---
Editor :
Zumardi
Tags
TAJUK